STISHID — Kemajuan teknologi yang menjadi fasililitas dan gaya hidup masyarakat modern, ternyata tidak selamanya memudahkan.
Terbukti tidak sedikit para orangtua yang justru merasa tidak berhasil mendidik anak-anaknya di zaman teknologi yang kian pesat ini.
Parahnya, ada sebagian orangtua yang menyerah dan pasrah. Urusan pendidikan pokoknya serahkan saja ke pihak sekolah.
Berdalih kesibukan kerja dan mengejar karir, tugas orangtua akhirnya beralih menjadi ATM berjalan dan pelunas biaya yang dibutuhkan. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa tentang perkembangan pendidikan anaknya.
Acapkali disoal masalah pendidikan, maka orangtua demikian itu langsung menyahuti dengan menyodorkan deretan nama-nama sekolah elit dan bergengsi.
Seolah mereka bertanya, mau sekolah yang paling mahal dimana?
Bagi mereka, pendidikan itu dihitung dari gedung dan fasilitas fisik yang ditawarkan sekolah atau kampus tersebut. Semuanya serba diukur dengan materi dan kebendaan.
Padahal budaya ilmu yang diwariskan para ulama dahulu adalah dengan melihat kepada siapa anak tersebut menimba ilmu dan adab.
Inilah prinsip utama dalam mendidik anak. Ia lebih daripada sekadar mengukur pendidikan dengan bangunan fisik semata.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan proses, cara, perbuatan mendidik.
Sederhananya, tolak ukur keberhasilan sebuah pendidikan adalah ketika mendapati seorang anak dari jenjang satu ke jenjang berikutnya mengalami perubahan kedewasaan.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, seperti dikutip oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid dalam bukunya Manhaj at-Tarbiyah an-Nabawiyah li ath-Thifl berpesan kepada orang tua dan para pendidik, barang siapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan apa yang bermanfaat bagi anak-anaknya dan meninggalkannya begitu saja, berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar.
Disebutkan, kerusakan pada diri anak kebanyakan datang dari sisi orangtua yang meninggalkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dalam agama dan sunnah-sunnahnya.
Namun keadaan tersebut (meninggalkan anak) berbeda ketika meninggalkan atau menyerahkan kepada orang lain atau pihak lain untuk dididik dan dibina.
Seperti menitipkan anak kepada ulama atau kepada lembaga pendidikan yang teruji integritasnya dalam mendidik.
Karena kemampuan orangtua dalam mendidik sangat terbatas dalam keilmuan atau karena khawatir terkontaminasi oleh lingkungan.
Hal ini berbeda jika orangtua tersebut menyerahkan urusan pendidikan ke guru atau pihak sekolah karena ingin berlepas dari tanggung jawab mendidik anak.
Sebab idealnya orangtualah sebagai orang pertama yang bertanggung jawab atas pendidikan dan perilaku anak-anak yang dilahirkan dari rahim ibu mereka.
Betapa banyak orangtua yang meninggalkan anak sejak Subuh buta hingga malam pekat untuk memenuhi kebutuhan anak tetapi sejatinya telah menelantarkannya.
Di antara persoalan pokok pendidikan adalah mengarahkan fitrah dan potensi anak menuju satu tujuan kepada kebaikan (a good man).
Inilah silang sengkarut tersebut. Bagaimana orangtua bisa mengarahkan fitrah seorang anak ketika sepanjang hari tidak punya waktu membersamai anak-anaknya?
Bagaimana orangtua dapat menunjukkan teladan kebaikan kepada sang anak jika ada batas dan sekat antara anak dan orangtua?
Menurut penulis buku keluarga, Sinyo Egie, ketika seorang anak memilah dan memilih yang akan disampaikan atau diobrolkan kepada orangtua merupakan indikasi ada yang salah dalam hubungan orangtua dan anak.
Indikasi ini belum terbaca ketika anak masih berumur balita bahkan sampai 8 tahun. Tetapi tanda kekeliruan itu mulai tampak ketika anak beranjak baligh.
Dalam ajaran Islam, obat penawar atas kegalauan dari pendidikan tersebut sudah dihadiahkan sejak awal oleh sang panutan terbaik, Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw).
Dan seorang Muslim hendaknya tidak terjebak dengan metode-metode Barat yang terkesan menarik dan hebat namun asalnya justru bobrok dan menyesatkan.
Sebaliknya dia harus senantiasa mempelajari metode Nabi dalam mendidik anak, sebab segala petunjuk urusan kehidupan itu sudah ada dalam al-Qur’an dan sunnah-sunnah Nabi.
Berikut ini beberapa tawaran solutif Rasululullah Saw dalam perbaikan pendidikan khususnya perilaku socsal kepada anak-anak adalah
Pertama: Menjadi Teladan
Cara yang paling efektif menularkan adab kepada anak adalah melalui pendidikan keteladanan.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Aku menginap di rumah bibiku Maimunah. Nabi Saw biasa bangun kemudian berwudhu dengan wudhu yang ringan dari kendi yang digantung. Setelah itu, beliau shalat. Akupun berwudhu sama seperti wudhu Nabi.”
Lihatlah betapa mudahnya menularkan kebaikan.
Kedua: Mencari waktu tepat dalam memberi pengarahan.
Rasulullah Saw sangat memperhatikan waktu dan tempat unruk membangun pola pikir anak dan menumbuhkan akhlak yang baik.
Pertama, dalam perjalanan. Diceritakan oleh Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, aku di belakang Nabi Saw pada suatu hari lalu Nabi bersabda: Hai anak kecil. Aku menjawab: Labbaik Ya Rasulallah. Nabi bersabda: Jagalah agama Allah niscaya Dia menjagamu…
Disebutkan, psikologi seorang anak dalam perjalanan biasanya siap menerima nasihat dan pengarahan karena dalam kondisi gembira didukung oleh suasana alam terbuka yang nyaman.
Kedua, waktu makan. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abu Salamah Ra ia berkata: Aku masih anak-anak ketika berada dalam pengawasan Rasulullah Saw. Tanganku bergerak kesana kemari di atas nampan makanan. Rasulullah Saw bersabda: Hai anak kecil….sejak itu begitulah cara makanku.
Anak-anak ketika menghadapi makanan terkadang kita jumpai melakukan hal-hal yang tidak pantas.
Seperti berebut makanan, duduk dengan kaki diangkat dan sebagainya. Saat itulah pentingnya orangtua mendampingi dan mengarahkan anak untuk berbuat santun dan sopan.
Ketiga, waktu anak sakit. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas ibn Malik Ra berkata: Seorang anak Yahudi pernah dijenguk oleh Rasulullah.
Nabi duduk di dekat kepalanya dan bersabda kepadanya: Masuk Islamlah kamu. Anak itu melihat ke arah bapaknya yang saat itu juga berada di sana. Si bapak berkata: Turutilah Abul Qasim. Maka, dia pun masuk Islam.
Dikatakan, meski sudah lama berinteraksi dengan anak dan keluarga Yahudi itu, tapi Nabi justru mengajaknya masuk Islam ketika sang anak sedang sakit dan dijenguk oleh Nabi.
Ketiga: Bersikap adil terhadap semua anak
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir Ra. Bahwa bapaknya membawanya menghadap Rasulullah Saw dan berkata: Sesungguhnya aku memberikan seorang budakku kepada anakku ini.
Rasulullah bertanya: Apakah seluruh anakmu engkau beri pemberian yang sama dengannya? Dia menjawab: Tidak. Rasulullah Saw bersabda: Jangan engkau persaksikan aku dalam kejahatan.
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa memberikan sesuatu ataupun bersikap haruslah adil terhadap semua anak. Karena jika tidak maka orangtua telah berbuat kejahatan.
Disimpulkan bahwa tidak menyamaratakan pemberian (tidak adil) kepada anak-anak hukumnya haram. Karena membedakan pemberian dapat menimbulkan permusuhan, kebencian dan kedengkian di antara mereka.
Agar jiwa mereka tidak terkotori dengan sifat dengki hendaknya orangtua menegakkan keadilan seadil-adilnya. Karena yang biasa terjadi orangtua lebih membela sang adik dan menyalahkan kakak atau sebaliknya.
Subhanallah, inilah solusi yang terang benderang buat para orangtua.
Keempat: Memberikan Hak Anak
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad Ra, Rasulullah Saw diberi minuman. Nabipun minum dan diapit oleh seorang anak kecil di samping kanan sedang di samping kiri Nabi tampak berjejer beberapa orang dewasa.
Nabi menoleh kepada anak itu, apakah engkau mengizinkanku untuk memberi minum kepada mereka terlebih dahulu?
Anak kecil itu menjawab: Tidak, aku tidak akan memberikan bagianku darimu kepada seorang pun. Maka, Rasulullah Saw meletakkan cawan itu di tangannya.
Kisah ini mengajarkan penghormatan hak kepada anak kecil, dan bukan justru mengorbankannya untuk kepentingan orang dewasa.
Sebab menunaikan hak anak mengajarkan mereka untuk menerima kebenaran dan menumbuhkan karakter positif tentang memberi dan menerima.
Misalnya saja, ada orang lain ingin meminjam barang milik sang anak, serta merta orangtua biasanya memberikannya tanpa meminta izin lebih dahulu kepada anak, sang pemilik mainan tersebut.
Jika anak protes, tak sedikit si anak malah mendapat teguran keras dan memaksa dia untuk merelakan barangnya dipinjam.
Kira-kira kalau dewasa kelak bagaimana sang anak bisa menghormati hak orang lain?
Kelima: Membantu anak berbakti dan ta’at.
Rasulullah Saw mendoakan orangtua yang memberikan peluang atau mendukung anak-anak untuk berbakti dan ta’at agar mendapatkan rahmat dan ridha Allah Swt.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Raulullah Saw bersabda: Semoga Allah merahmati orangtua yang membantu anaknya berbakti kepadanya.
Juga, diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda: Bantulah anak-anak kalian untuk berbakti. Barang siapa yang menghendaki, dia dapat mengeluarkan sifat durhaka dari anaknya.
Cara sederhana membantu anak untuk berbakti adalah tidak membebani mereka dengan sesuatu yang sulit.
Mengarahkan untuk mengerjakan kebaikan sesuai dengan porsi umur dan kemampuannya. Tentunya dengan bertambahnya umur dan fisik, beban anak juga akan bertambah.
Hal fatal yang sering terjadi ketika orangtua tidak melatih anak untuk menyelesaikan beban mereka secara bertahap. Akhirnya banyak anak yang tidak dewasa sesuai dengan usianya. */Maftuha, S.H.I, M.M, Dosen STIS Hidayatullah
Berita ini juga dapat dibaca melalui Android. Segera Update aplikasi STISHID untuk Android . Install/Update Aplikasi STISHID Android Anda Sekarang !