Al-Quran Datang untuk Meringankan, Bukan Memberatkan Manusia

Dikisahkan bahwa orang-orang Yahudi berkata: Apakah kalian tidak heran dengan perbuatan Nabi Muhammad ? Ia menyuruh sahabatnya dengan suatu urusan lalu ia juga yang melarang untuk dikerjakan. Setelah itu, dia menyuruh kembali sahabatnya dengan perintah lain yang sebaliknya.

Nabi berkata dengan suatu ucapan pada hari ini dan ia menghapusnya di keesokan harinya. Tidaklah al-Quran itu kecuali ucapan Muhammad yang dikeluarkan seenaknya saja. Ucapan yang saling bertolak belakang. (Lihat tafsir al-Kasysyaf, az-Zamakhsyari)

Ayat ini lalu turun menyanggah sangkaan buruk orang Yahudi tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) berfirman:

ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير

Ayat mana saja  yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” (Surah al-Baqarah [2]: 106).

Menilik sabab nuzul ayat, ayat ini termasuk yang biasa jadi “batu loncatan” kaum liberal untuk menyerang al-Quran sebagai sesuatu yang tidak suci alias hanya sebagai produk budaya manusia (muntaj tsaqafi).

Secara khusus, Mufassir Muhammad Ali ash-Shabuni membantah anggapan orang-orang yang keliru dalam memahami ayat di atas.

Hal itu dijelaskan lebih jauh dengan sub judul Lathaif at-Tafsir (kehalusan tafsir) dalam karyanya “Ayat al-Ahkam min al-Quran” (Cetakan Dar ash-Shabuni, Kairo: 2007, cetakan kesatu).

Berikut penjelasannya:

Pertama, Allah menyebut nasakh (penghapusan) di dalam al-Quran sekaligus hikmah di balik perkara tersebut. Yaitu menghadirkan sesuatu yang lebih baik bagi urusan hamba-hamba-Nya.

Kabar nasakh itu setidaknya mengandung dua hal. Apa yang lebih ringan untuk manusia dari sisi hukum atau apa yang lebih baik buat manusia dari urusan dunia dan agama.

Imam al-Qurthubi berkata, urusan yang kedua lebih utama. Sebab Allah mengatur seorang mukallaf dengan apa yang bermaslahat padanya. Bukan semata karena pertimbangan berat atau ringan dan disesuaikan dengan tabiat manusia.

Terkadang ada hukum yang diubah justru kepada sesuatu yang lebih memberatkan. Misalnya, menasakh puasa Asyura menjadi kewajiban puasa Ramadhan sebulan penuh, tentunya hal itu untuk maslahat hamba itu sendiri.

Dengan ibadah puasa Ramadhan, manusia lalu mendapatkan ganjaran pahala yang lebih banyak.

Kedua, sebagian ulama menolak kata “nunsiha” (Kami jadikan (manusia) lupa) untuk dimaknai sebagai derivasi (turunan kata) dari “nisyan” atau lupa, lawan daripada mengingat.

Sebab hal itu tidak mungkin terjadi pada Nabi Muhammad Shallallahu alaih wasallam (Saw) di mana Allah telah membacakan ayat-ayat al-Quran dan tidak mungkin dilupa.

Allah berfirman;

سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنسَى

Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa.” (Surah al-A’la [87]: 6).

Ali ash-Shabuni lalu mengutip penjelasan Ibn al-Athiyyah al-Andalusi tentang persoalan di atas. Menurut Ibn al-Athiyyah, kelupaan seorang Nabi ketika itu menjadi ketetapan takdir Allah merupakan hal wajar untuk terjadi, baik secara akal ataupun syara’.

Sedang kelupaan Nabi Muhammad sebagai bentuk kelalaian yang menyebabkan agama ini rusak maka Nabi terjaga (makshum) dari hal tersebut.

Ketiga, firman Allah; “Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.”

Lafadz “khairiyah” di sini bermaksud sebagai sesuatu yang lebih baik(afdhaliyah).  Yaitu kemudahan (suhulah) dan keringanan (khiffah).

Ia tidak diartikan afdhaliyah dari sisi tilawah atau bacaan. Sebab semuanya berasal dari Allah sebagai firman-Nya, tidak ada perbedaan dalam hal tersebut. Di mana seluruh ayat-ayat Allah adalah mukjizat secara mutlak.

Al-Qurthubi menambahkan, lafadz “khair”menunjukkan sifat unggul dan afdhal. Artinya, ayat tersebut diganti dengan urusan yang lebih bermanfaat bagi manusia. Baik dalam urusan dunia jika yang menggantinya itu lebih ringan ataupun urusan Akhirat sekiranya yang menasakh itu dianggap lebih berat dari sebelumnya.

Termasuk yang sebanding dengannya jika penggantinya itu setara dengan sebelumnya. Sekali lagi, ia bukan untuk dibandingkan atau ada ayat yang lebih baik antara satu dengan lain.

Senada Abu Bakar al-Jasshash menambahkan, lafadz “bi khairin minha” dimaksudkan untuk memudahkan (taysir).

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dan Qatadah. Menurut al-Jasshash, tidak ada seorangpun di antara para ulama yang mengartikan dengan lebih afdhal dalam hal bacaan.

Sebab seorang Muslim tidak boleh mengatakan bahwa ada ayat tertentu yang lebih baik daripada ayat selainnya dalam hal tilawah atau bacaan. Semuanya adalah mukjizat dan kalamullah.

Keempat, sebagai penutup, Ali ash-Shabuni menyimpulkan, jika dalam proses kehidupan manusia perubahan atau penghapusan suatu hukum dan keadaan adalah mutlak terjadi.

Bagaimana mungkin ada manusia yang mengingkari adanya perubahan tersebut yang kaitannya dengan agama dan umat. Sedang hal itu diyakini untuk sebuah hal yang lebih baik.

Sebab Allah Yang Maha Mengetahui sendiri yang langsung menasakh ayat-Nya. Mahasuci Allah dengan segala nama-Nya yang baik dan sifat-Nya yang tinggi.*/Masykur Abu Jaulah, Pengasuh Mahasiswi STIS Hidayatullah

Tulisan Hikmah ini disadur dari situs Hidayatullah.com

Berita ini juga dapat dibaca melalui Android. Segera Update aplikasi STISHID untuk Android . Install/Update Aplikasi STISHID Android Anda Sekarang !

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp