Fantasyiru


STISHID — Dalam berbagai organisasi, ditemukan banyak istilah yang hanya dipahami oleh mereka yang bergelut di organisasi tersebut. Hidayatullah sebagai salah satu organisasi berbasis massa yang fokus pada tarbiyah dan dakwah, juga punya banyak istilah-istilah yang (mungkin) hanya bisa dimengerti oleh jamaahnya. Dalam tulisan ini, sedikit akan diperkenalkan istilah “fantasyiru”.

Pada awalnya, menurut berbagai sumber, istilah “fantasyiru” diperkenalkan pertama kali di Hidayatullah oleh pendirinya; ustadz Abdullah Said –rahimahullahu-. Istilah ini menyitir potongan ayat di surat al-Jumu’ah yang memerintahkan setiap muslim untuk segera kembali ke tempat mengais rizki setelah menunakan kewajiban Jum’atan.

Ayat tersebut terdapat di ayat 10. Demikian bunyinya:

(فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ)

Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kalian di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Di ayat ini, kata “fantasyiru” dimaknai “maka bertebaranlah kalian”. Perintah “fantasyiru” di ayat ini merupakan jawaban syarat atas potongan kalimat sebelumnya yang mengatakan “idza qudiyatis shalah”. Artinya, jika seorang muslim telah menunaikan kewajiban shalat jamaah Jum’at, maka hendaklah dia segera kembali ke ‘bisnis’nya. Maksudnya, silahkan kembali ke aktifitas masing-masing yang terhenti karena adanya panggilan shalat jamaah.

Selain di surat alJumuah, kata “fantasyiru” juga ditemukan di surat alAhzab. Di ayat ke 53 surat tersebut, Allah mengajarkan adab memasuki rumah Nabi –shallallahu alaihi wasallam– kepada para shahabat; kalau sudah diberi makan, segeralah membubarkan diri tanpa mengobrol-ngobrol yang berarti. Selain di dua tempat tersebut, tidak ditemukan lagi kata “fantasyiru“.

Kata “fantasyiru” sebenarnya merupakan frasa yang terdiri dari dua kata;  “fa” dan  “intasyiru”. “Fa” adalah huruf isti’naf yang biasa diartikan “maka”, sedang “intasyiru” merupakan fiil amr (kata kerja perintah) untuk jamak. Intasyiru berasal dari intasyara-yantasyiru-intisyaran yang berarti menyebar, menghamburkan, dan mengedarkan.

Jika dipecah lagi, kata intasyara-yantasyiru ini berasal dari kata asli nasyara-yansyuru-nasyran. Kata nasyara ini memiliki pecahan makna lebih banyak lagi. Di dalam al Quran, berulang kali Allah menggunakan kata nasyara ini dan turunanya dengan berbagai makna yang terkandung di dalamnya.

Misalnya di surat at Takwir : 10 Allah berfirman:

(وَإِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ)

Pada ayat ini, “nusyirat” yang merupakan bentuk majhul dari kata “nasyara” dimaknai terbuka atau dibuka. Lengkapnya, ayat ini bermakna, “dan ketika lembaran-lembaran (catatan kelakuan manusia) itu dibuka.”

Selanjutnya, di surat asSyura : 28, Allah Ta’ala berfirman:

(وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ ۚ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ)

Di ayat ini, Allah menggunakan kata “yansyuru” sebagai bentuk mudhori dari “nasyara” untuk menunjukkan makna menyebarkan. Secara utuh, ayat ini bermakna, “dan Dialah yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. dan Dialah yang Maha pelindung lagi Maha Terpuji.”

Pada hakikatnya, masih terdapat beberapa ayat alQuran yang menggunakan kata “nasyara” dalam redaksinya dengan beragam makna yang terkandung di dalamnya. Misal di surat al Mulk : 15 diartikan dengan “kebangkitan”. Juga ada di al Furqon : 40 dan 3 yang diartikan “kebangkitan” dan “membangkitkan”. Kemudian, juga akan dijumpai di surat ‘Abasa : 22 yang diartikan “membangkitkan”. Dan terakhir di surat az Zukhruf : 11 diartikan “menghidupkan kembali”.

Di lingkungan Hidayatullah, kata “fantasyiru” biasa digunakan sebagai aba-aba atau instruksi oleh seorang imam. Di awal disebutkan, instruksi ini dipopulerkan oleh ustadz Abdullah Said –rahimahullahu-. Dahulunya, ketika beliau memimpin kegiatan shalat jamaah, beliau akan memberikan aba-aba “fantasyiru” kepada jamaah sebagai tanda bahwa jamaah sudah boleh meninggalkan masjid.

Aba-aba ini tidak diberikan langsung setelah prosesi shalat jamaah usai, atau setelah zikir ba’da shalat. Tapi, merupakan hak prerogatif seorang imam kapan harus mengucapkannya. Dan biasanya imam berpatokan pada rutinitas aktifitas yang berlaku pada setiap kali shalat jamaah ditegakkan.

Pada kegiatan shalat jamaah subuh, misalnya. Biasanya, rutinitas yang berlaku, setelah shalat berjamaah dilajutkan zikir, ada kegiatan ta’lim menerjemah al Quran secara lafhziyyah yang dipandu seseorang dari mimbar dan diikuti oleh seluruh jamaah. Setelah acara terjemah ini usai, “forum” kembali diserahkan kepada imam. Apakah “fantasyiru”, ataukah ada tausiyah singkat dari imam. Semua kembali kepada imam sebagai pimpinan kegiatan shalat yang wajib ditaati.

Bukan hanya kegiatan di masjid, di beberapa kesempatan kegiatan di luar masjid, istruksi ini juga pernah beliau –rahimahullahu– berikan. Artinya, instuksi ini tidak hanya khusus untuk membubarkan jamaah shalat saja. Dalam setiap perkumpulan, intruksi bubar ini sebenarnya juga bisa diterapkan.

Kalau dipikir-pikir, instruksi ini sebenarnya merupakan bagian dari latihan “sami’na wa atho’na” bagi para kader dan jamaah Hidayatullah. Sebagaimana diketahui, kepemimpinan di Hidayatullah yang dilandasi sistem imamah jamaah mengharuskan kader dan jamaahnya untuk senantiasa taat kepada pimpinan selama tetap dalam koridor kebaikan. Jika dalam hal shalat berjamaah saja tidak mampu untuk menahan diri tetap di tempat duduk menunggu instruksi “fantasyiru” imam, maka bagaimana seorang kader bisa taat pada hal yang lebih besar?

Selain sebagai latihan ketaatan, dalam intruksi ini juga terkandung doa yang dahsyat nan suci; do’a seorang pemimpin untuk segera tersebarnya dakwah tauhid hingga ke ujung negeri. Juga ada pengharapan; agar sebaran dakwah di Indonesia segera merata dan peradaban menjadi kenyataaan. Doa dan harapan itu secara tak langsung dibebankan kepada para kader untuk mewujudkanya.

Kebiasaan usatdz Abdullah Said –rahimahullahu– memberi instruksi “menyebarlah” tersebut kini ikut tersebar seiring banyaknya kader-kader beliau yang menyebar di berbagai titik di Nusantara. Kerja keras para kader yang disebar tersebut kini telah membuahkan hasil. Kurang lebih di 300 kota/kabupaten telah berdiri cabang Hidayatullah. Sebaran cabang tersebut kebanyakan di pelosok-pelosok negeri yang tak terjamah manusia biasa.

Namun sayangnya, istilah ini mulai hilang dari peredaran dunia pengkaderan Hidayatullah. Mungkin ada yang beralasan ini hanya ‘masalah’ kecil dan sepele, tapi setidaknya, dari hal kecil dan sepele ini kita bisa belajar untuk lebih taat. Dan semoga, dari ketaatan kecil kita tersebut, kita diberi kekuatan untuk juga taat pada perintah-perintah yang lebih besar dan berat. */Abu Ayman Abdurrahman /
Alumni STIS Hidayatullah. Berdomisili di Malang

Berita ini juga dapat dibaca melalui Android. Segera Update aplikasi STISHID untuk Android . Install/Update Aplikasi STISHID Android Anda Sekarang !

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp