Renungan Munas Hidayatullah : Suksesi, Kaderisasi, dan Regenerasi (Bagian 1)

STISHID — Musyawarah Nasional (Munas) ke- IV Hidayatullah baru saja berlalu, hiruk-pikuk, kemeriahan, juga atmosfir kesyahduan yang melingkupinya menyisakan memori dan kesan yang mendalam bagi para santri dan kader-kader ormas Islam Hidayatullah.

Atmosfir kesyahduan kian terasa karena seluruh penyelenggaraan acara musyawarah nasional tersebut dilaksanakan di masjid, sehingga suasana batin para peserta munas adalah suasana ibadah, jauh dari hiruk-pikuk negatif seperti sikut menyikut diantara masing-masing kubu yang memiliki tendensi dan kepentingan tertentu terhadap kekuasaan, sebagaimana yang sering terjadi pada penyelenggaraan musyawarah nasional ormas-ormas Islam tertentu lainnya.

Kesan mendalam juga dapat dirasakan oleh peserta Munas yang berdatangan dari seluruh penjuru Nusantara, karena pelaksanaan munas dilakukan di pusat sejarah Hidayatullah, Gunung Tembak Balikpapan.

Gunung Tembak menjadi nama yang melegenda di sanubari para kader Hidayatullah, seperti yang pernah dipidatokan oleh Allahuyarham Abdullah Said ketika itu, bahwa dari Gunung Tembak ini akan ditembakkan kader-kader Islam yang digembleng di Hidayatullah ke seluruh penjuru Nusantara.

Kehadiran para kader Hidayatullah ke Gunung Tembak, menjadi oase yang menyejukkan di tengah lelah dan penat para kader berjibaku dalam mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru, pelosok, dan daerah terluar Republik Indonesia.

Sehingga wajar adanya, munas kali ini tidak sekedar ajang suksesi kepemimpinan baru di Ormas Hidayatullah, tapi menjadi media temu-kangen, mengeratkan ikatan silaturrahim antar kader. Dan yang tidak kalah penting ada recharging spirit perjuangan Islam melalui taushiyah-taushiyah menyentuh dari Pimpinan Umum Hidayatullah, serta salat Tahajjud bersama yang dipimpin langsung oleh beliau.

Point penting pertama dari munas Hidayatullah kali ini adalah suksesi kepemimpinan Hidayatullah. Suksesi kepemimpinan adalah pada level manapun, apalagi dalam dunia politik adalah persoalan yang krusial, di mana terkadang menimbulkan konflik berlarut-larut yang tak berujung, dan tak kunjung usai. Bahkan ditengah konflik itu terkadang menimbulkan pertumpahan darah dan bencana kemanusiaan, sebagaimana konflik politik atas suksesi kepemimpinan di Timur Tengah saat ini.

Oleh karena itu, proses suksesi kepemimpinan pada level manapun juga dapat menimbulkan kerawanan sosial, dan potensi-potensi konflik laten lainnya. Ketika menengok ke dalam sejarah Islam pun kita dapat menemukan bahwa tidak sedikit terjadi konflik dan pertumpahan darah sesama kaum muslimin yang disebabkan oleh suksesi kepemimpinan.

Munas Hidayatullah kali ini mengalami sukses besar, karena proses suksesi kepemimpinan berjalan mulus tanpa ada hambatan dan riak-riak politis tertentu. Hal tersebut terjadi karena Hidayatullah sedari awal, sejak didirikan dalam format pesantren dan organisasi sosial menisbatkan diri sebagai organisasi keumatan milik umat dan bukan miliki pribadi dan keluarga tertentu.

Ketika memproklamirkan diri sebagai ormas pun demikian, sehingga Hidayatullah adalah representasi dari umat, dan orang-orang di dalamnya menyatu bersama umat untuk membangun kembali peradaban Islam sebagai visi besar Hidayatullah. Euphoria suksesi yang dibangun pun adalah upaya mencontoh sistem kepemimpinan Islam, yaitu dengan prinsip Syuro dan bukan prinsip Demokrasi.

Karena itu dalam munas Hidayatullah kali ini menjadikan sesepuh Hidayatullah sebagai Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) untuk memilih pucuk pimpinan pengurus pusat Hidayatullah. Dari proses suksesi ini, sebuah proses langkah maju dan upaya untuk memegang teguh prinsip sistem kepemimpinan Islam telah dilakukan. Bersambung…. */Abdurrohim, Ketua STIS Hidayatullah

Berita ini juga dapat dibaca melalui Android. Segera Update aplikasi STISHID untuk Android . Install/Update Aplikasi STISHID Android Anda Sekarang !

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp