Allah Menjaga Tekad Baikku

Musim dingin kembali menyapa kota Kairo, Mesir. Cuaca hari itu sangat ekstrim. Biasanya cuaca sekisar 7-9 derajat celcius. Satu persatu kuperhatikan orang yang masih lalu lalang di luar. Mereka terlihat seperti sedang merokok ketika berbicara atau bernafas. Ada asap putih yang membumbung keluar dari rongga hidung dan mulut mereka.

Aku sendiri sedang berada di sebuah angkutan umum “Bus 80 Coret”. Entah apa sebab bus itu dipanggil dengan nama itu. Yang jelas setahuku, “80 Coret” itu termasuk bus andalan bagi mahasiswa perantau, khususnya kami yang berasal dari Indonesia.

Selain tarifnya ramah dan menjangkau kantong mahasiswa, daya jelajah bus yang bertuliskan angka 80 lalu kena coretan garis itu lumayan membantu mahasiswa. Bisa dikata, bus tersebut melewati semua perumahan mahasiswa. “Murah dan tidak perlu ganti mobil bus lagi.” Ucapku singkat ketika mejelaskan karakter “Bus 80 Coret” kepada mahasiswa baru suatu waktu.

Aku memilih duduk di kursi tunggal di barisan depan. Saat itu aku lagi sendiri menuju ke daerah Darrasah untuk menghadiri majelis talaqqi seorang Syaikh. Kawan-kawan sedang ada urusan, ada juga yang sudah berangkat duluan ke lokasi belajar.

Entah karena cuaca yang super dingin, saat itu aku sedang didera rasa malas yang sangat. Tak ada niat baca buku atau murajaah hafalan di atas bus. Sebuah tradisi baik di negeri Mesir yang sebenarnya perlahan mulai kubiasakan untuk diriku juga.

Di luar sana, hujan mulai turun membasahi jalan raya. Cuaca dingin terasa kian menggigit. Jaket tebal yang kupakai seolah tak mempan lagi menahan sengatan udara dingin. Kini, aku lebih memilih menyembunyikan tangan dibalik saku jaket. Sesekali aku asyik memperhatikan rinai hujan yang turun beriringan di luar.

Murajaah hafalan? “Ah, kali ini aku memilih diam, merenungi perjalananku yang tiba-tiba terasa begitu jauh dari orang-orang yang kusayangi di rumah.” Bisikku dalam diam.

Tiba di salah satu halte, seorang pemuda Mesir naik ke bus yang kutumpangi. Karena mobil padat, ia kulihat berdiri dan mengambil posisi tepat di samping kursi yang kududuki. Beberapa saat setelah bis beranjak, si pemuda Mesir ini mulai melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan suara yang terdengar oleh penumpang yang lain. “Rupanya dia mengaji dengan irama lagu Musyari Rasyid.” Ucapku pelan. Diam-diam aku mulai menyimak bacaan al-Fatihah pemuda itu.

Entah mengapa, tiba-tiba aku turut senang dengan pemuda Mesir itu. Yup, sebab kebetulan ia membaca al-Qur’an dengan irama Musyari Rasyid. Seorang Qari al-Qur’an asal Kuwait yang terkenal dengan kelembutan suara yang dipunyai. “Akupun senang dengan suara dan irama yang mirip bacaaan Musyari itu.” Pekikku sambil menahan senyum.

Sampai di sini, sebenarnya tak ada hal yang aneh. Seorang Muslim membaca al-Qur’an atau murajaah hafalan di tempat-tempat umum adalah hal lumrah di Kota Kairo. Setiap saat pemandangan semacam itu mudah ditemui dan disaksikan di mana-mana. Tapi kali ini aku benar-benar hampir melonjak kaget dibuatnya. Sebab pemuda itu kini membaca juz, surah dan ayat yang persis sama yang hendak aku baca sebelumnya tadi.

Apa? Kebetulan (lagi)? Iya, dulu aku suka berdalih “kebetulan” atau “kebenaran” untuk suatu peristiwa yang bersesuaian tanpa sengaja atau direncanakan terlebih dahulu. Namun, seorang kawanku selalu menegur kebiasaanku itu. Menurutnya tak ada yang bersifat kebetulan di dunia ini.

Semuanya telah diatur oleh Sang Maha Pencipta. Termasuk dedaunan yang luruh dari ranting pohon sekalipun. Semuanya sudah diatur dan ditetapkan atas nama takdir Allah.

Terakhir, aku hanya bisa bersangka baik kepada Allah. Mungkin Dia tak ingin membiarkanku larut mengabaikan tekad dan kebiasaan baik yang mulai kupelihara. Alhasil, aku semakin yakin, selalu ada kemudahan bagi setiap hamba-Nya yang benar-benar bertekad melakukan kebaikan. Ah, kini akupun tenggelam dalam lantunan indah bersama seorang pemuda yang tak kukenal. Sekalian bisa murajaah bukan? Alhamdulillah ala kulli hal.*/Nurul Qalbi, Mahasiswi al-Azhar Kairo

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp