STISHID — Belum lama ini, yakni pada tanggal 25 Mei 2015, saya diundang oleh Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah di Surabaya. Mereka mengundang saya untuk diajak membicarakan tentang pengembangan perguruan tinggi Islam di lingkungan organisasi itu.
Selama ini, Yayasan Pesantren Hidayatullah telah memiliki lima perguruan tinggi Islam di beberapa tempat, yaitu di Jakarta (STIE Hidayatullah), di Malang (STIMIK Internasional), di Surabaya (STAI Lukmanul Hakim), di Batam (STIKIP Hidayatullah), dan di Balikpapan (STIS Hidayatullah.
Beberapa lembaga pendidikan tinggi yang telah berhasil dididirikan tersebut baru berbentuk sekolah tinggi. Ke depan, selain akan ditambah jumlahnya, juga akan ditingkatkan bentuk kelembagaannnya, maupun terkait kualitasnya.
Hal yang agaknya unik, bahwa selama ini lembaga pendidikan tinggi dimaksud baru menerima mahasiswa secara terbatas, dan semuanya diberi beasiswa. Para lulusan perguruan tinggi di lingkungan Hidayatullah akan dijadikan kader dakwah ke beberapa tempat, baik untuk menjadi guru di sekolah-sekolah yang dikelola oleh organisasi Islam itu, maupun ditugasi untuk membina masyarakat pada umumnya.
Jenis keilmuan yang dikembangkan perguruan tinggi dimaksud, oleh karena masih berbentuk sekolah tinggi, juga masih terbatas, yaitu ilmu-ilmu tarbiyah, syari’ah, dan ekonomi Islam.
Pada kesempatan itu, saya menyampaikan gagasan bahwa jika Hidayatullah ingin berdakwah secara komprehensif dan luas, maka harus ada keberanian membuka perguruan tinggi dalam bentuk universitas. Jika yang dikembangkan hanya seperti sekarang ini, yaitu berbentuk sekolah tinggi dan hanya mengembangkan keilmuan secara terbatas, maka lulusannya tidak akan mudah menjalankan dakwah sebagaimana tuntutan modern seperti sekarang ini.
Masyarakat modern sebagaimana bisa dirasakan sekarang ini, sehari-hari diwarnai oleh suasana ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, perubahan masyarakat sangat pesat. Berbeda dengan masyarakat agraris, masyarakat modern adalah sangat rasional, obyektif, terbuka, bahkan serba kalkulatif dan materialistik.
Maka Islam seharusnya diperkenalkan dengan cara berbeda dari masyarakat agraris tempo dulu. Berdakwah kepada masyarakat agraris atau bahkan kepada masyarakat yang ilmu pengetahuan, teknologi dan informasinya melum sedemikian maju, maka seharusnya berbeda dengan kepada masyarakat yang seperti sekarang ini.
Rasanya akan sulit memberikan pengaruh, ———jika berdakwah itu juga disebut mempengaruhi, kepada orang-orang yang ilmu pengetahuan dan teknologinya semakin maju, dengan hanya menggunakan pendekatan konvensional sebagaimana yang diberikan kepada masyarakat petani yang hidup pada zaman dahulu.
Maka itulah perlunya, Hidayatullah membuka berbagai bidang ilmu pengetahuan dengan catatan, tanpa meninggalkan sumber ilmu yang utama, yaitu al Qur’an dan hadits nabi. Dengan membuka pendidikan tinggi berbentuk universitas, Hidayatullah akan memiliki peluang membuka berbagai cabang ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu alam, ilmu sosial, maupun ilmu humaniora. Melalui universitas itu, Hidayatullah tidak saja akan berhasil menyiapkan sarjana syari’ah, ushuluddin, dakwah, tarbiyah, dan sejenisnya, melainkan akan melahirkan sarjana teknik, kedokteran, pertanian, kelautan, pertambangan, perdagangan, hubungan internasional, dan lain-lain.
Maka dari Yayasan itu akan lahir ilmuwan yang mendasarkan pada dua jenis sumber ilmu, yaitu ayat-ayat qawliyah dan juga sekaligus ayat-ayat kawliyah. Penyandang keilmuan seperti itu, rasanya lebih mudah dan semakin luas peluangnya untuk berdakwah.
Selain itu, dengan memperluas lembaga pendidikannya menjadi universitas, Yayasan Pesantren Hidayatullah juga akan sekaligus memberikan pengertian bahwa ajaran Islam itu adalah sedemikian luas. Umatnya dianjurkan untuk memperhatikan dan atau mengkaji ciptaan Allah baik di langit maupun di bumi.
Belajar fisika, biologi, kimia, sosiologi, psikologi, sejarah, bahasa, dan lain-lain akan diyakiki sebagai bagian penting dari perintah Allah melalui kitab-Nya. Akhirnya, perguruan tinggi Islam akan dimaknai secara luas, tidak hanya terbatas sebagaimana yang pahamı oleh banyak orang seperti sekarang ini. Wallahu a’lam. */Imam Suprayogo – Rektor UIN Maliki Malang