Mencapai Pribadi Autentik dengan Ramadhan

STISHID — Ramadhan 1436 H telah mendekat, menjadi bulan yang selalu dinanti dan dirindukan oleh pribadi pribadi yang beriman. Bulan yang menjanjikan basyiroh paling memikat bagi hati yang penuh iman.

Janji suci dari sang Khalik tentang kenikmatan syurga dan kebebasan dari siksa neraka. Janji tentang dihapuskannya segala cela, noda, dan dosa. Lebih dari itu, ramadhan adalah kawah candradimuka untuk menguji iman kita, agar bisa naik kelas menjadi pribadi yang bertakwa.

Menjadi takwa adalah ketika kita mampu mencapai pribadi yang autentik. Yakni pribadi yang mampu secara paripurna kembali kepada fitrah sucinya sebagai hamba Tuhan yang sejati.

Dalam hidup ini, kehidupan dibagi menjadi dua hal, kehidupan yang sifatnya artifisial dan kehidupan yang sifatnya autentik. Seperti dapat dilihat dan diresapi, bahwa nampaknya waktu-waktu kita tersedot untuk hal-hal yang sifatnya artifisial, yakni kesibukan untuk menyibuki urusan-urusan keduniaan.

Padahal urusan itu terlampau sering menguras emosi, air mata, dan menimbulkan sekat-sekat dan sengketa hati diantara kita. Hadirnya ramadhan untuk membuat kita sejenak melupakan kehidupan artifisial kita, untuk sejenak mencemplungkan diri ke dalam oase ramadhan yang penuh berkah, agar kita mampu menemukan esensi dan makna dari kedirian dan posisi sebagai Abdullah (hamba Allah) dan Khalifatullah.

Salah satu fakta kedirian yang divisualisasikan oleh al-Qur’an, adalah fakta bahwa pernah ada perjanjian primordial di alam azali sebelum kita semua terlahir ke muka bumi. Yaitu yang disebut dengan “hari alastu“, sebuah perjanjian, kesepakatan dan konsensus bahwa semua manusia yang berjalan dimuka bumi, baik pria maupun wanita, secara autentik punya hakikat kedirian sebagai hamba Allah yang Maha Agung.

Kehadiran ramadhan dalam rangka mengingatkan ulang perjanjian dan kesepakatan dengan Allah. Mengingatkan bahwa kehidupan yang artifisial itu bukan tujuan, karena tujuan akhir dari kehidupan adalah perjumpaan dengan Allah dan kampung akherat. Mengingatkan bahwa kehidupan dunia hanya persinggahan semata, dan terminal akhirnya adalah kematian. Mengingatkan bahwa kehidupan yang autentik itu lebih baik dan lebih menyelamatkan daripada kehidupan artifisial.

Setiap hari melalui media massa dan sosial media, dapat disaksikan betapa mayoritas manusia berjibaku, bersikut-sikutan, dan bahkan saling menjatuhkan untuk mengejar kehidupan yang artifisial itu. Sementara itu sangat sedikit yang mau menjadikan kehidupan yang autentik sebagai tujuan.

Namun yang menyedihkan adalah di saat ramadhan datang, ternyata ibadah yang menjadi sarana menggapai pribadi autentik, hanya menjadi rutinitas hampa dan kering dari nilai ruhaniah. Bahkan hari-hari akhir yang menjadi puncak dari ramadhan, kaum muslim kembali disibukkan untuk hal hal artifisial seperti baju baru, sepatu baru, kue-kue, sofa dan gorden baru. Akhirnya tujuan akhir untuk menggapai pribadi yang autentik tidak tercapai.

Untuk mencapai kehidupan yang autentik diperlukan lebih dahulu adanya pribadi-pribadi yang autentik. Yaitu pribadi-pribadi yang menjadikan dunia sebagai sarana menuju kampung akhiratnya. Dan pribadi-pribadi yang menjadikan ramadhan sebagai sarana menggapai autentisitas dirinya. Wallahualam Bishawwab. */Abdurrahim

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp