Warna Kulit Tak Jadi Soal

Jujur, mungkin aku termasuk wanita yang punya keinginan muluk-muluk. Entah karena korban bacaan novel atau yang lainnya, sejak dulu aku berobsesi punya kulit sebening kristal, atau setidaknya berkulit putih mulus seperti bintang iklan di televisi. Entah kenapa juga, penampilan wanita-wanita tersebut mampu menyita perhatianku bahkan aku kadang bermimpi dielu-elukan oleh orang lain karena kecantikan yang kumiliki. Astaghfirullah.

Di lain kesempatan, fikiranku melayang tentang perbedaan warna kulit manusia. Mengapa ada manusia yang dianugerahi kulit putih, ada pula yang hitam, merah, sawo matang, cokelat dan sebagainya. Tentunya warna kulit yang dipunyai adalah hasil keturunan dari  orangtua yang mewarisinya dari orangtuanya juga. Begitu seterusnya hingga berakhir pada Nabi Adam, moyang semua manusia.

Fikirku, jika semua manusia adalah keturunan Nabi Adam, semestinya semua manusia memiliki warna kulit yang sama, setidaknya menyerupai warna kulit yang Adam miliki. Demikian, sejak dulu anganku telah mengembara kemana-mana. Fikiranku hinggap dari satu pendapat ke pendapat yang lain.

Hingga suatu saat dalam mata kuliah Tafsir Tematik, di bangku kuliah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab) Jakarta, kutemukan jawaban tersebut. Siang itu, Dosen Ustadzah Tafsir menjelaskan Surah Fathir [35]:11

والله خلقكم من تراب ثم من نطفة ثم جعلكم أزواجا

Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan)…

Menurut ustadzah, ayat ini secara lugas menjadi bukti asal mula manusia diciptakan. Allah menciptakan Adam dari turab (tanah). Dari berbagai macam tanah tersebut, Allah lalu menyatukannya dan dengan kehendak-Nya, Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama di bumi. Layaknya aneka jenis tanah di setiap hamparan bumi, maka tak heran, jika varian kulit manusia juga beragam warnanya.

Masih dalam ayat ini, jika Adam tercipta dari tanah, rupanya keturunan Adam berikutnya diciptakan dari nutfah (air mani). Kini, ilmu kedokteran modern pun mengakui kebenaran empirik tersebut.

Alhamdulillah, luar biasa. Entah kenapa, seketika aku terkesima dengan keterangan ustadzah. Rasanya aku tak punya alasan lagi untuk bertanya apalagi membandingkan warna kulit yang kumiliki sekarang. Penjelasan di atas sukses meruntuhkan seluruh obsesi dan mimpi indah yang selama ini kubangun, ingin punya kulit putih mulus lalu dibanggakan oleh semua orang. Astaghfirullah wa atubu ilaihi. 

Satu hal yang kusyukuri, kini aku benar-benar tersadar bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah. Bukan warna kulit atau status sosial yang membuatnya lebih mulia. Sebab pembeda itu adalah takwa dan akhlak yang dipunyai oleh seseorang.

Tak ada yang salah dari ciptaan Allah. Semuanya sama dan tak perlu dibedakan. Yang keliru jika ternyata aku belum mampu bersyukur atas keadaan diriku saat ini. Aku masih terlalu banyak mengeluh atas kekurangan diri hingga lupa mensyukuri kelebihan yang ada. Aku yang lebih banyak pesimis daripada all out bermujahadah dalam belajar.

Ketahuilah, jika diri ini larut dalam sanjungan orang lain. Jangan lupa, hal itu semata-mata karena Allah masih berkenan menutupi segudang borok aib kelakuan diri ini di hadapan orang lain.

Benar, bahwa kebahagiaan itu sederhana. Cukup perbanyak bersyukur, niscaya kebahagiaan akan bermuara di jiwa.

Ya Rabb, bantulah diri ini untuk bersyukur kepada-Mu, berdzikir, dan kokoh beribadah di atas ketaatan kepada-Mu.  Alhamdulillah ala kulli hal.

*/Naskah : Nur Bayyinah (lulusan Sekolah Marama Putri, Balikpapan)

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp