Refleksi Pernikahan Mubarokah : Pengalaman Seorang Santri


STISHID —  Berikut ini kami hadirkan tulisan mengenai Refleksi Pernikahan Mubarokah. Sengaja kami hadirkan tulisan ini kembali ke hadapan pembaca, sebagai bahan perenungan mengenai hakekat dari yang namanya pernikahan.

Kisah berikut merupakan pengalaman spiritual yang dialami Abdul Ghofar Hadi, seorang santri Hidayatullah kala mengikuti Pernikahan Mubarokah Nasional Hidayatullah di Balikpapan beberapa tahun silam. Kisah berikut dikutip dari  Hidayatullah.or.id. Selamat ber-refleksi.

********

Ghofar, Sapaan Abdul Ghofur Hadi, tenang menuruni anak tangga Masjid Ar-Riyadh, Kompleks Pondok Pesantren (Ponpes) Hidayatullah, Gunung Tembak, Balikpapan. Tangan kirinya menyingsingkan kain celana hitam tepat di atas mata kaki.

Siang itu, 14 Juni 2013, Ghofur baru usai memantau tahapan Pernikahan Mubarakah di pesantren ini. Dia pembantu utama dalam struktur Steering Commite Pernikahan Mubarakah 2013.

Gaya Ghofur santri banget. Gamis putih dipadu songkok warna sama. Tas punggung menggatung di bahu kiri. Tas hitam yang tak lagi pekat, sobek segaris di bagian tali kanan. Benangnya tercerabut. Walau begitu, Ghofur tetap percaya diri mengenakannya. Sangat sederhana.

Dagu ayah dua anak ini ditumbuhi janggut yang tak lebat. Helainya hanya mengisi beberapa bagian pori. Jarang-jarang, tapi panjang. Tutur katanya pelan.

Menatap sesaat, diam sekian detik, baru menjawab saat diberi tanya. “Tadi (14 Juni itu) di masjid ada proses taaruf (silaturahmi mendekatkan diri) santri yang mau menikah,” katanya, saat bincang dengan Kaltim Post di Kantor Pusat Ponpes Hidayatullah, siang itu. Kantor utama dan masjid jaraknya tak lebih 50 meter.

Taaruf yang dimaksud pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur (Jatim), 11 Desember 1974 ini, dalam nikah mubarakah, bukan santri putra taaruf kepada santri putri dan keluarga.

Sampai usai ijab kabul, dalam nikah mubarakah atau yang lebih dikenal nikah massal, kedua mempelai tak pernah bertemu. Satu kali pun!

Taaruf-nya antara calon mempelai dengan panitia dan guru serta santri di sini (Hidayatullah). Karena yang mau menikah kan bukan cuma dari sini, ada santri dari Hidayatullah Jakarta, Sulawesi Selatan, sampai Papua,” katanya.

Taaruf adalah tahapan untuk mengikuti nikah mubarakah. Pada proses ini, calon mempelai dikorek pengetahuan agama mereka dan sejauh mana mengenal Hidayatullah. Ini adalah proses memperkenalkan diri dan membeber motivasi mengikuti nikah mubarakah.

Saat itu (proses taaruf), santri juga ditanya harapan dalam nikah mubarakah ini apa? Ingin mendapatkan istri yang bagaimana?” kata Ghofur, tersenyum.

******

Ghofur datang ke Balikpapan pada 2002. Tahun itu, dia baru lulus dari S-1, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Luqman Al-Hakim, Surabaya, Jawa Timur.

Setelah mondok saat mahasiswa, anak pasangan Tro Tinah-Malem (keduanya almarhum), memilih Balikpapan sebagai tujuan. Itu juga karena Hidayatullah berkantor pusat di kota ini. Masa itu, dia datang dengan kondisi yang sangat sederhana. Tinggal di asrama, kembali berada jauh dari orangtua. Kali ini jaraknya bertambah. Harus menyeberang pulau. Apalagi dia tak punya alat komunikasi seperti handphone.

Jadi komunikasi dengan orangtua hanya pakai telepon di wartel (warung telekomunikasi),” tuturnya di Gunung Tembak, Rabu (24/7).

Komunikasi yang terbatas itu sempat membuat orangtua dan keluarganya bingung ketika Ghofur mau menikah. Apalagi, saat itu Ghofur tak bisa menjelaskan seperti apa calon istrinya kepada keluarga.

“Orangtua saya dulu sempat bikin bimbang juga. Orangtua bilang, mau menikah kok enggak tahu sama siapa,” lanjutnya, menirukan perkataan ayah-ibunya. Tapi, di pikiran Ghofur malah terbalik. “Apa mau ya nanti istri saya menerima saya,” katanya.

Di dalam hatinya, Ghofur memang punya pemikiran untuk menikah dengan sesama santri. Walau saat masih kuliah ada seorang gadis yang membuka hatinya untuk Ghofur.

“Dulu ada sih yang mau sama saya. Ya, sampai minta suruh orangtua saya datang ke rumahnya. Itu waktu di Surabaya, dia teman SMA saya. Tapi dia bukan santri, cuma bapaknya guru mengaji. Saya memang ingin menikah dengan sesama santri,” katanya.

Sebelum memilih ikut menikah massal, Ghofur memang sudah beberapa kali melihat senior-seniornya mengikuti prosesi ini. Ada ketertarikan darinya untuk ikut jadi peserta. Yang membuat keinginan semakin besar adalah dorongan ustaz-ustaznya yang ikut jadi “kompor”.

“Yang saya ingat, ustaz saya dulu pernah bilang, apa lagi yang ditunggu. Nanti antum jadi bujang lapuk, lho,” katanya, meniru ucapan gurunya.

Ketika masih sekolah, Ghofur sama sekali tak pernah pacaran. Padahal saat itu dia belum santri. Masih mengenyam pendidikan di sekolah umum. SMP 1 dan SMA 3, keduanya di Nganjuk. Baginya, pacaran risikonya besar. Makanya, dia tak pernah berduaan dengan perempuan untuk sekadar nonton di bioskop atau makan bareng.

“Lagi pula saya ini memang pubernya terlambat. Walaupun ada rasa suka sama cewek, tapi saya enggak pernah berani mengungkapkan. Di sekolah dulu saya selalu juara, makanya ada saja cewek yang suka,” tuturnya, tertawa. Cuma sekadar suka ala siswa SMA. Kirim-kirim salam, tak pernah lebih.

********

Tak ada syarat ekonomi yang dijadikan pertimbangan bagi calon peserta nikah massal. Pada 2007, nikah massal berganti nama jadi nikah mubarakah. Ini karena sebutan nikah massal sudah banyak digunakan instansi dan lembaga nonpemerintah. Salah satunya Dinas Sosial.

Saat menikah Ghofur tak punya modal. Dia sarjana yang menjadi guru di pesantren. Gajinya masih belum seberapa.

Awal mengajar pada 2002, hanya Rp 350 ribu per bulan. Sebelum menikah, dia hanya bisa menumpang kapal laut saat pulang kampung ke Surabaya.

Menelepon keluarga via wartel pun hanya sesekali. Saat mertua datang pada acara pernikahannya di Balikpapan, Ghofur ingin sekadar memberi mereka sangu atau membelikan tiket kembali ke Jawa Tengah. Namun duit masih pas-pasan.

“Pas mau kasih uang ke mertua, terus lihat rekening tabungan ternyata cuma Rp 350 ribu. Istri saya (Saryati) bilang, emang cukup mau kasih ibu? Uangnya cuma segitu,” kata Ghofur mengenang.

Namun, setelah dia menikah, merajut rumah tangga, perekonomian keluarga malah mulai membaik.

“Dari mana datangnya ya, enggak tahu juga bagaimana. Enggak ada rumusnya. Eh, setelah punya keluarga saya malah bisa naik pesawat lho kalau pulang ke Surabaya,” tuturnya. Soal rezeki ada saja jalan. Apalagi, pihak ponpes juga membuka banyak peluang pekerjaan bagi santri-santrinya yang sudah berkeluarga.

Ghofur sedianya sudah punya empat anak. Namun, anak pertamanya Fathul Bariyyah dan anak ketiga A Furqon Al-Faqih meninggal saat masih bayi.

“Istri saya memang tak bisa selalu hamil, karena dia ada semacam penyakit gen yang berpengaruh saat mengandung,” katanya.

*******

Sebelum menikah, Ghofur dan Saryati sama sekali belum bertemu. Boro-boro menatap wajah, lihat foto pun tak pernah. Maka itu, tak heran, sebagai manusia, beberapa jam sebelum ijab kabul, bimbang sempat menerpa ayah dari Ahmad Yasin Al-Faqih dan Faiqon Putri An-Najah ini.

“Memang agak susah dinalar, waktu itu yang penting saya menyerahkan diri saja kepada Allah. Karena jodoh kita sudah ada di Lauhul Mahfuz (tempat Allah menuliskan seluruh catatan kejadian di alam semesta), jadi enggak bakal tertukar,” kata guru fikih (hukum Islam) di Ponpes Hidayatullah ini, tertawa kecil.

Saat menikah, dia menjadi salah satu dari lima mempelai yang berkesempatan mendatangi duluan calon istri. Tapi itupun setelah proses ijab kabul.

“Waktu saya nikah itu (2002) disaksikan Gubernur Kaltim (Suwarna Abdul Fatah). Gubernur mau melihat proses saat santri membawa mahar kepada santri putri,” katanya.

Ini jadi kesempatan bagi Ghofur untuk melihat istrinya duluan dibanding peserta lain.

“Waktu pertama kali saya lihat, kok bayangan saya istri saya orangnya kecil,” katanya, mengenang. Kembali dari proses pemberian mahar, dia sempat termenung di asrama putra. “Enggak salahkah itu istri saya? Bayangan saya istri saya itu orangnya besar,” tuturnya.

Bayangan itu menggelitik pikiran pria yang punya nama kecil Paryadi ini, dari sebelum Zuhur hingga Ashar. Setelah salat Ashar, semua peserta nikah massal angkatan Ghofur dipertemukan dengan pasangan mereka. Dia tak sabar menunggu momen ini. Ingin memastikan, seperti apakah gerangan calon ibu dari anak-anaknya kelak.

Setelah bertemu istrinya, ternyata tak seperti dalam pikiran sebelumnya. Saryati tak kecil, seperti kesan pada pandangan pertama. Tubuhnya proporsional.

Apakah dia tak salah lihat saat penyerahan mahar? “Enggak, saya enggak salah lihat. Memang itu istri saya. Mungkin pas itu (penyerahan mahar) lagi banyak orang, jadi istri saya itu kelihatan kecil,” katanya, tersenyum. Setelah bertemu awal, Ghofur menyebut,”Istri saya itu sesuai. Lebih dari apa yang saya harapkan”.

**********

Hari-hari pertama pernikahan, jadi momen Ghofur-Saryati saling mengenal. Tak ada malam pertama, seperti umumnya pengantin baru setelah dinyatakan sah menjadi suami-istri.

“Lima malam pertama tak ada malam pertama,” katanya, tersipu.

Lima malam pertama bagi dia dan istrinya digunakan untuk berkenalan lebih mendalam. Saling tahu. Diskusi. Dalam bahasa gaul, saat inilah proses PDKT atau pendekatan. Bagaimana keluarga Ghofur dan Saryati, punya hobi apa, kebiasaan apa, saat sekolah seperti apa, dan apa saja prestasi yang pernah diraih.

Bahkan, baru setelah menikah mereka saling cari tahu, pasangan suka makan apa. Inilah proses yang disebut Ghofur, pacaran setelah menikah.

”Apa makanan kesukaan, Mas?” tanya Saryati. ”Sayur singkong,” kata Ghofur. Belakangan, kata Saryati, Ghofur menyesal menjawab sayur singkong, karena terlalu jujur. Akhirnya, tujuh hari pertama pernikahan, mereka selalu makan nasi dan sayur singkong.

Cerita hari-hari pertama pernikahan mereka diungkapkan Saryati dengan bahasa tutur di buku Senandung Mahligai Mubarakah. Sebuah antologi kisah pernikahan di Ponpes Hidayatullah. Ada 30 santri putri yang bercerita pengalaman nikah mubarakah yang disusun oleh Mujahid M Salbu.

Antusiasnya proses saling mengenal, lima malam pertama setelah ijab kabul praktis tak ada bulan madu bagi Ghofur-Saryati. Pagi hingga sore, alumnus S-2, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Jogjakarta ini mengajar di pesantren.

Tak hanya jadi guru, dia juga dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah yang satu kompleks di ponpes Gunung Tembak.

Jadi waktu bertemu dengan istri sedikit. Cuma petang hingga malam. Apalagi saat itu dia masih tinggal di rumah kakak ipar. Sekarang, dia sudah tinggal di rumah dinas. Makanya, malam awal pernikahan, usai makan, salat Isya, baru mereka banyak bercerita. Saking asyiknya, kata dia, tak terasa datang waktu salat malam. Usai salat berdua, lanjut PDKT.

“Makanya, pas lima malam pertama, ya kita habiskan diskusi saja, belum ada malam pertama,” katanya, kembali tersipu. (kaltimpost/ybh/hio)

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp