STISHID — Mengajarkan tajwid kepada anak-anak non arab perlu strategi berbeda dari strategi yang digunakan pengajar tajwid di negeri Arab. Demikian pandangan Syekh Ahed bin Muhammad As-Suury diawal presentasinya dalam kegiatan diskusi rutin dosen bertajuk “Dasar-dasar pembelajaran tajwid untuk anak-anak non Arab”, Sabtu (19/4) di ruang multi media STIS Hidayatullah putri.
Menurutnya anak-anak non arab yang sama sekali belum mengenal huruf-huruf Arab dan ingin mempelajari bacaan al-Qur’an, hendaknya melalui tahapan-tahapan latihan yang benar dan sesuai.
“Harus kita membedakan antara mengajar bahasa Arab dan mengajar al-Qur’an. Saat mengajar bacaan al-Qur’an, di hadapan anak-anak pemula semestinya kita tidak mengajarkan nama-nama huruf, (seperti; ini huruf Jiim ). Sebab mereka akan bertanya kenapa dibaca Jiim bukan Jii. Hal ini tentu bisa membuat mereka bingung. Maka tahap pertama adalah dengan melatih mereka mengucapkan huruf-huruf (nutqul huruf), bukan memperkenalkan nama-nama huruf (asmaa’ul huruf)” kata Syekh yang sudah puluhan tahun menetap di Jerman ini.
Di hadapan peserta diskusi yang terdiri dosen putri dan mahasiswi, Syekh Ahed menjelaskan dasar-dasar dan tahapan-tahapan yang seyogyanya dilalui oleh para guru tajwid bersama murid-muridnya sebelum masuk ke pembahasan hukum-hukum tajwid.
Dia membagi tahapan tahapan dasar itu menjadi tiga. Pertama, memahami harakat-harakat dan penguasaan aplikasinya. Pada tahapan ini, murid hanya diajarkan fathah, dhommah dan kasroh disertai terapannya. Dan belum diperbolehkan mengenal sukun. Sebab penjelasan sukun tidak semudah ketika menjelaskan tiga harokat tadi.
Kedua, memahami kadar waktu pengucapan huruf atau biasa dikenal dengan istilah menguasai panjang pendek huruf. Ketika seseorang salah menetapkan kadar waktu dalam pengucapan huruf, maka ini bisa merubah arti kata menjadi menyimpang. Contoh dalam al-Qur’an seperti kata La yang artinya sungguh, ketika dibaca agak panjang yaitu Laa maka artinyapun berubah menjadi tidak atau jangan.
Dan ketiga, berlatih pengucapan huruf dengan benar sesuai makhroj dan sifatnya. Setelah melalui tiga tahap ini, baru pelajar dipersilahkan mempelajari lebih dalam tentang hukum-hukum tajwid.
“Tiga tahapan ini apabila berhasil dituntaskan oleh seorang murid, maka dia dianggap sudah memiliki dasar yang kuat untuk bisa membaca al-Qur’an dengan benar” ujar direktur Lembaga Sieben Ahren (LSA), lembaga dakwah sosial yang berpusat di Frankfurt, Jerman itu.
Meski menggunakan bahasa Arab dan tanpa penerjemah, diskusi yang berlangsung selama satu jam ini sangat menarik antusiasme peserta. Hal ini ditandai dengan sejumlah tanggapan dan pertanyaan dari peserta diskusi yang rata-rata adalah dosen bahasa Arab di STIS Hidayatullah.
“Alhamdulillah, ada ilmu baru tentang metode pengajaran bahasa Arab untuk anak-anak secara khusus, dan non Arab secara umum.” ujar Sholehah, dosen sekaligus penanggung jawab bidang Akademik STIS Putri.
Senada dengan Sholehah, Karina Chairunnisa menganggap prinsip beberapa point yang dipaparkan oleh pemateri dalam diskusi tadi.
“Saya sepakat dengan pemateri, untuk mendalami tajwid, kita terlebih dahulu harus menuntaskan tiga tahapan dasar tadi, yaitu; itmam harakat (penguasaan pengucapan harakat), menguasai kadar waktu pengucapan huruf, dan pengucapan huruf berdasarkan makhroj dengan benar.” tutur dosen Bahasa Arab berdarah Jawa itu.
Lukman Hakim, salah seorang penerjemah andalan Balikpapan yang mendampingi, menuturkan bahwa syekh kelahiran Ladziqiyyah itu selalu disiplin dalam menggunakan bahasa Arab fusha.
Termasuk saat berbicara dalam acara diskusi kali ini. Banyak peserta yang merasa ter-upgrade. Tidak hanya dari sisi keilmuan yang disampaikan, namun juga dengan bahasa Arab-nya yang fusha dan jelas.
“Penyampaiannya mudah, saya yang belum terlalu lama belajar bahasa Arab, bisa ikut paham dengan metode pengajaran beliau tadi” tutur Nur’afiah, penanggung jawab tata usaha di kampus putri bersemangat. */ Abu Umar/Stis Hidayatullah