STIHID – Tahun akhir masa perkuliahan (semester VII dan VIII) seringkali disebut sebagai masa transisi atau masa peralihan. Ibarat musim, masa transisi itu terjadi jika ada musim peralihan dari musim hujan berubah ke musim kemarau, atau sebaliknya. Pada masa seperti itu, terkadang terjadi musim penyakit, utamanya menjangkiti usia anak-anak. Pada masa-masa seperti itu pula dibutuhkan daya tahan tubuh yang kuat dan kemampuan survival (bertahan) yang kokoh. Agar tidak menjadi korban dari efek masa peralihan tersebut.
Secara umum, masa-masa akhir di kampus identik dengan tumpukan urusan kuliah, terutama ujian skripsi yang acap molor akibat keseringan ditunda-tunda. Ada juga yang mulai sibuk berfikir. Apa setelah kuliah? Jika ingin uang, maka kerja apa dan di mana bekerja? Kalau hendak menikah, lalu menikah dengan siapa? ujung-ujungnya kembali kepada berapa dana yang ia punya. Kalau mau lanjut kuliah lagi, maka kuliah di mana? Serta banyak lagi tumpukan fikiran yang menjadikan para mahasiswa seolah-olah sepakat dengan pembenaran istilah di atas tersebut.
Tak terkecuali mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan, tidak sedikit diantara mereka yang merasakan dampak dari masa transisi itu. Alih-alih para mahasiswa kian berlomba mendekati garis finish kuliah. Justru sebagian di antara mereka kehilangan fokus dalam kuliah bahkan bermalas-malasan datang kuliah atau kuliah tapi terlambat datang ke kampus. Bahkan ada yang prestasi akademik juga ibadahnya justru anjlok ketika menjalani semester akhir kuliah.
Tentunya, hal ini bukan untuk mengungkap bobrok mahasiswa. Tapi sebagai bahan evaluasi buat seluruh komponen STIS Hidayatullah. Fenomena sosial ini ada dan terjadi di sekitar kita semua. Sekiranya ia baik, maka kita dituntut untuk merawat dan meningkatkannya. Sedang jika ia buruk, maka menjadi tugas kita semua agar keburukan itu bisa hilang atau minimal berkurang dengan mujahadah kita bersama. Sebab hal itu terkait dengan kualitas keimanan seseorang. Semakin kuat cahaya iman yang ada, semakin luas wilayah yang bisa diterangi oleh pancaran cahaya itu.
Terlebih dalam rumus orang beriman disebutkan, amalan seseorang itu diukur di akhir perbuatannya. Sabda nabi, “Sesungguhnya amalan itu tergantung kepada akhirnya.” (Riwayat al-Bukhari, dari sahabat Sahl bin Sa’ad). Apakah ia beroleh husnul khatimah (akhir yang manis/ happy ending) ataukah malah mendapat cap su’ul khatimah (akhir yang buruk/ bad ending). Belum lagi motivasi nubuwwah yang lain, barangsiapa yang amalannya hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka beruntunglah dia. Sebaliknya barangsiapa yang amalannya hari ini sama saja atau justru lebih buruk dari kemarin, maka merugi bahkan celakalah dia.
Setiap Muslim niscaya berharap mendapatkan husnul khatimah. Kita ingin merasakan happy ending tidak hanya dalam urusan akhirat, tapi juga dalam setiap pekerjaan di dunia ini. Untuk itu, menurut penulis, setidaknya ada lima faktor mengapa mahasiswa STIS seringkali menganggap akhir kuliah (semester VIII) sebagai masa transisi;
Pertama, Penulisan dan Ujian Skripsi.
Ada yang berbeda dalam kegiatan formal akademik di perkuliahan STIS Hidayatullah. Salah satunya, jika mahasiswa luar STIS sibuk urus skripsi di semester akhir (semester VIII), maka mahasiswa STIS merampungkan penulisan Skripsi sekaligus Ujian Skripsi pada semester VII. Sebelumnya, para mahasiswa dibebani membuat Proposal Skripsi di semester VI. Setelah itu, pada semester VIII, mahasiswa STIS lebih difokuskan kepada materi kuliah yang bersifat aplikatif dan bermanfaat di tempat tugas nanti.
Untuk itu, sadar tidak sadar, para mahasiswa punya kesan “santai” menjalani kuliah di semester VIII STIS. Sebab, tidak bisa dipungkiri juga, sebagian mahasiswa menganggap Ujian Skripsi adalah puncak dan klimaks dari “beban” kegiatan akademik seorang mahasiswa. Mereka meyakini, inilah inti perkuliahan ketika seorang mahasiswa dinyatakan lulus dalam Ujian Skripsi. Ia berbeda dengan Ujian Terbuka di setiap semester genap atau Ujian Akhir Semester (UAS) pada setiap semester sekalipun.
Man jadda wajada. Demikian ungkapan Arab mengajarkan. Siapa yang bersungguh-sungguh niscaya ia mendapatkan (yang diinginkan). Bagi yang duduk di semester VII, terkadang ada mahasiswa yang justru berdalih dengan urusan sibuk skripsi lalu kendor [baca: malas-malasan] dalam beraktifitas lainnya. Sebenarnya tak masalah serius dalam mengurus skripsi. Ia benar saja dan tidak keliru. Sebab, hasil itu acap berbanding lurus dengan mujadahah dan doa yang tiada henti. Namun (sekali lagi) urusan skripsi bukanlah alasan untuk lalai dengan amanah-amanah yang lain. Toh, perkara skripsi bukanlah satu-satunya kewajiban mahasiswa dalam perkuliahan dan pengkaderan.
Kedua, Senioritas di Kampus.
Diakui atau tidak, rasa lebih atau merasa utama itu acap kali terbetik dalam diri manusia. Sebenarnya hal ini adalah penyakit hati yang sulit dihindari. Terlebih jika orang itu lalu meminta perlakuan yang berbeda dengan yang lain. Bisa jadi ada mahasiswa yang dulunya dia getol meneriakkan penegakan aturan, bahkan mungkin namanya tercatat sebagai salah seorang pengurus Dewan Santri di asrama atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), tapi malah ia kendor ketika tak lagi aktif sebagai pengurus.
Inilah yang terkadang menjangkiti perasaan dan sikap mahasiswa semester akhir. Menjadikan mereka yang dulunya rajin tiba-tiba menjadi malas. Mulai dari malas ikut kegiatan asrama hingga malas kuliah. Lebih ngeri lagi, jika ia mulai malas ibadah. Sebab jika spritual mahasiswa yang bermasalah, niscaya yang lain ikut jadi trouble semua.
Ketiga, Menjelang Penugasan.
Ibarat seutas tali titian. Ia memiliki ujung dan pangkal. Ada awal ada akhir. Inilah sunnatullah kehidupan di dunia. Perjalanan panjang proses pendidikan dan pengkaderan selama empat tahun di STIS akan finish dengan berakhirnya semester VIII sebagai ujung dari penantian panjang seorang mahasiswa. Selanjutnya, serta merta ia berubah status, sebagai seorang alumni atau lulusan STIS.
Bukan lagi seorang mahasiswa yang berkutat dengan teori dan hafalan di kelas. Tapi kini, tandang ke gelanggang menyapa umat di setiap pelosok nusantara.
Olehnya tak salah jika masa-masa jelang penugasan ini menjadi titik paling krusial seorang mahasiswa. Ia berstatus transisi, sebab seolah-olah satu pijakan kakinya telah bergeser ke daerah tugas. Meski telapak yang satu juga masih mencengkeram kuat di STIS Hidayatullah. Ia layak disebut transisi, sebab statusnya sebagai mahasiswa belum dicopot, dengan segala atribut aturan yang melekat. Namun, bayang-bayang tugas dan dakwah di berbagai daerah juga kian nyata mendekat.
Keempat, Menjelang Pernikahan.
Ini salah satu faktor kenapa mahasiswa menjadi galau di ujung perkuliahannya di STIS. Pelan tapi pasti, isu Pernikahan Mubarakah kerap berhembus menerpa mahasiswa semester akhir. Lebih parah lagi, jika ada yang iseng mengutak-atik nama dan calon pasangannya lalu menyebarkan ke orang lain. Akibatnya, mahasiswa yang disebut namanya menjadi hot topic dan korban gosip yang diperbincangkan para warga dan mahasiswa.
Di sisi lain, “keunikan” Pernikahan Mubarakah yang merahasiakan calon pasangan hingga dua hari menjelang hari–H juga menjadi alasan tersendiri bagi mahasiswa (yang ikut jadi peserta) untuk ikutan mikir, siapa gerangan pendamping mereka kelak, yang katanya sangat gagah rupa atau berparas cantik itu. Alhasil, kuliah jadi malas-malasan, setoran hafalan dan tugas lainnya ikut terbengkalai hanya gara-gara menghayal tentang pernikahan.
Lebih parah lagi kalau sudah berani menyimpan HP dan nekat sms-an/ telepon-an atau mengoleksi foto seorang ikhwan/ akhwat yang disukainya. Cukuplah catatan sejarah di STIS akan deretan mahasiswa korban HP atau Facebook. Lebih tragis lagi, sebab beberapa nama tersebut adalah mahasiswa semester akhir STIS. Masa yang sangat singkat sebenarnya (jika mau bersabar) untuk menuntaskan misi pendidikan dan pengkaderan selama 4 tahun di STIS.
Penutup
Sekali lagi, tulisan ini tak ada maksud untuk memojokkan siapapun. Ia bukan pula legitimasi atas fenomena sosial yang menimpa mahasiswa semester akhir pada umumnya. Tulisan ini hanyalah penggalan episode mujahadah dan muhasabah yang tiada henti dalam meningkatkan kualitas output STIS Hidayatullah. Sebab STIS Hidayatullah tak lain adalah wadah amal shalih kita bersama.
Sejatinya, meski potensi dan amanah yang berbeda, tapi yakinlah seluruh kepingan-kepingan mujahadah itu kelak akan bermuara kepada harapan yang sama. Harapana akan lahirnya sarjana Muslim yang ulama dan berkarakter pemimpin. Sarjana yang tidak hanya sabar ketika belajar tapi juga mampu tegar dalam mendakwahkan ajaran Nabi. */Masykur Suyuti/Pembimbing Mahasiswi STIS Hidayatullah