Inilah Pesan Penting Pendiri Hidayatullah, Camkanlah!

Sejumlah kader awal Hidayatullah dalam sebuah kesempatan senggang. Tampak Ustadz Hasyim HS, kedua dari kanan (berbaju koko hitam berkopiah putih)

Stishid– Dalam menapaki jalan panjang dakwah dan perjuangan, Hidayatullah tidak boleh kehilangan identitas diri. Dengan karakter itulah Hidayatullah bisa lahir dan dengan karakter yang sama itu pula Hidayatullah niscaya bisa bertahan di masa yang akan datang Insya Allah.

Demikian dikatakan Muhammad Hasyim HS, salah seorang perintis Pesantren Hidayatullah di hadapan ratusan warga dan santri Hidayatullah Gunung Tembak yang memadati pengajian rutin pekanan “Kelembagaan” di masjid ar-Riyadh, Balikpapan, beberapa waktu lalu (20/12/2014.

Seperti diketahui, Pesantren Hidayatullah yang mulai berdiri tahun 1973 ini diawaki oleh beberapa tokoh pemuda kala itu. Selain Abdullah Said rahimahullahu sebagai inisiator utama, juga ada Muhammad Hasyim HS (Pesantren Darussalam Gontor), Ahmad Hasan Ibrahim (Pesantren Krapyak Yogyakarta), Usman Palese (Persis Bangil), dan Muhammad Nazir Hasan (Akademi Tarjih Muhammadiyah).

Menurut Ustadz Hasyim, demikian warga pesantren biasa menyapanya, karakter khas dan identitas diri Hidayatullah yang dimaksud adalah spirit kerja keras, ibadah keras, dan berfikir keras.

“Tak bisa dipungkiri saat itu Hidayatullah benar-benar start dari nol. Tak ada apa-apa yang kita punyai selain keyakinan kepada Allah dan tiga spirit tadi,” ucap Hasyim mengenang.

Setiap waktu Abdullah Said rahimahullahu, Pendiri Pesantren Hidayatullah, tanpa henti terus memompakan spirit motivasi tersebut. Sebab kondisi lingkungan yang dihadapi benar-benar menghendaki demikian.

“Tak seorang pun yang hadir pada masa awal perintisan itu yang mampu membayangkan seperti suasana sekarang. Sebab yang tampak di hadapan mata saat itu hanyalah hutan belukar dan tanah rawa semata,” ungkap ustadz yang pernah menimba ilmu di Pesantren Modern Gontor tersebut.

Hasyim berharap, etos kerja keras itu hendaknya terus dipelihara dan diwariskan. Meski kondisi lingkungan dan tantangannya tidak sama seperti dahulu lagi.

“Apapun profesi dan amanah yang diberikan, semuanya harus dilakoni dengan etos kerja yang tinggi. Harus sungguh-sungguh dan mujahadah semaksimal mungkin, gak boleh bekerja asal-asalan,” terang Hasyim menasihati.

“Jika Hidayatullah hanya diawali dengan asal-asalan atau semaunya saja, tentu pesantren ini tak seperti yang kita lihat sekarang,” imbuh ustadz kelahiran Magelang, Jawa Tengah ini.

Selanjutnya, spirit kedua yang tak boleh hilang di Hidayatullah adalah ibadah keras. Sebagai miniatur dari kampus berperadaban Islam, maka ibadah –terutama shalat berjamaah- menjadi harga mati yang tak bisa ditawar lagi di Pesantren Hidayatullah.

“Itu bukan rangkaian slogan kata-kata indah tanpa bukti. Shalat berjamaah itu bukan nomor dua, ia nomor satu, tidak ada urusan lagi di atasnya,” jelas Hasyim mengingatkan.

“Jika azan telah berkumandang, maka semua urusan harus ditinggalkan. Seluruh santri dan warga wajib menegakkan shalat berjamaah di masjid. Jangan coba-coba melemahkan urusan ibadah ini. Sebab dengannya Allah berkenan memberikan pertolongan-Nya kelak,” ungkap Hasyim tegas.

Dalam kesempatan yang sama, Hasyim juga mengutip beberapa statement menggugah Abdullah Said rahimahullahu terkait penegakan ibadah shalat berjamaah. Di antaranya adalah, “Coba tunjukkan kalau kamu itu rindu kepada Tuhan.”

Di lain waktu, kata Hasyim, Abdullah Said juga berpesan, “Mari tunjukkan kalau memang kita ini serius memenuhi panggilan Tuhan.” Atau dalam redaksi yang lain, “Ayo tunjukkan bahwa kita ini sungguh-sungguh berjuang dan sungguh-sungguh hanya berharap pertolongan dari Allah”.

Spirit ketiga yang tak boleh luntur dari kader Hidayatullah adalah berfikir keras. Para kader ditantang dan dituntut untuk senantiasa berfikir keras dalam menghadapi persoalan umat. Sebab kata Hasyim, Nabi mendapat bimbingan wahyu juga melalui upaya keras Nabi berfikir hingga harus berkontemplasi (tahannuts) di Gua Hira, Makkah.

Diharapkan dengan berfikir keras, maka seorang kader Hidayatullah sanggup menggali nilai-nilai wahyu, menyerap ajaran Ilahiyah dan selanjutnya menerapkan serta mendakwahkan kebaikan-kebaikan tersebut kepada orang lain.

Hasyim meyakini, dengan spirit dan karakter khas yang dimiliki di atas, arus dakwah Hidayatullah akan terus bergerak dinamis. Tentu saja, hal ini patut mejadi kesyukuran bersama. Salah satu bentuk syukur itu dengan cara mempertahankan sekaligus meningkatkan kebaikan tersebut.

Lebih jauh menurut Hasyim, semangat kerja keras, ibadah keras, dan berfikir keras tersebut adalah warisan Nabi dan para sahabat. Sejak awal masa kedatangan Islam, generasi terbaik tersebut sudah mengucurkan keringat, air mata, bahkan darah mereka sekalipun.

“Semua itu tentunya tak mudah dilakukan. Tapi inilah harga seorang pejuang dakwah. Ia harus bermujahadah secara maksimal melaui kerja keras, ibadah keras, dan berfikir keras,” pungkas Hasyim semangat.*/Masykur Abu Jaulah/STISHID

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp