Menjadi Guru Berjiwa Malaikat

Stishid– Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan yang sebelumnya, yakni Guru Seperti Malaikat. Pembahasan “Guru Seperti Malaikat” sengaja kami bagi menjadi tiga tulisan, agar mempermudah para pembaca memahami maksud yang ingin disampaikan dari tulisan ini. Kali ini kami kembali menyodorkan pembahasan lanjutan tersebut dengan memberi judul Menjadi Guru Berjiwa Malaikat.

Malaikat dalam Islam, merupakan hamba dan ciptaan Allah yang diciptakan dari cahaya yang mulia dan terpelihara daripada maksiat. Mereka tidak bersuami atau isteri, tidak memiliki ayah dan ibu serta tidak beranak. Mereka tidak tidur, tidak makan dan tidak minum. Mereka mampu menjelma menjadi rupa yang dikehendaki Allah.

Menyamakan guru sebagai malaikat dari sisi penciptaan sebenarnya sangat tidak pantas. Sebab keduanya adalah mahluk yang berbeda. Maksud dari menyamakan manusia sebagai malaikat adalah sebagi bentuk memuliakan manusia tersebut, sebab mereka (manusia) memiliki beberapa keistimewaan layaknya malaikat. Meskipun sebenarnya mahluk yang paling mulia di sisi Allah adalah manusia yang beriman.

Jadi, potensi  manusia memang di pertengahan. Mereka bisa menjadi mahluk yang paling mulia melebihi malaikat ketika bisa melakukan ketaatan sebagaimana malaikat sendiri. Kalau malaikat taat itu sudah sangat wajar karena memang tugasnya seperti itu untuk taat. Mereka tidak diberi nafsu dan tahan godaan.

Sebaliknya, manusia juga memiliki potensi untuk menjadi mahluk paling sesat lebih sesat daripada setan ketika jiwanya terasuki oleh karakter setan. Jika setan itu sesat maka juga sudah wajar sebab pada dasarnya itu adalah  kemauan mereka memang ingin sesat sampai hari kiamat nanti.

Guru memiliki potensi untuk berjiwa malaikat. Tentu karena kemuliaan tugas dan pribadinya. Guru yang berkarakter “digugu dan ditiru” adalah guru yang berjiwa malaikat. Mereka all out (totalitas), ruang kelasnya bukan sebatas ruang 6×8 meter atau hanya di areal sekolah, tapi di manapun, baik di rumah, di masjid, di jalanan, di pasar, di masyarakat atau dia berada di mana saja maka dia siap untuk belajar dan menjadi contoh.

Waktu belajar juga tidak dibatasi oleh jam mengajar antara 20 sampai 24 jam sepekan yang sekarang ini banyak dikeluhkan oleh banyak guru. Mereka sudah mengabdikan waktunya untuk murid dengan on the track dalam mengajarkan  pembelajaran kepada para muridnya.

Selanjutnya  bahan ajarnya juga tidak dibatasi oleh bahan yang ada di buku-buku cetak. Ruang kehidupan sehari-hari adalah media dan pelajaran pembelajaran yang tidak pernah habis untuk dikupas dan diajarkan kepada para muridnya.

Terkait kompensasi, mereka tidak pernah menuntut kenaikan gaji, honor, tunjangan atau apalah namanya yang sifatnya materi duniawi. Jangankan demostrasi ke gedung dewan atau di jalanan untuk sekedar menyuarakan di ruang rapat sudah sangat tabu. Mereka mengajar bukan untuk bekerja mendapatkan imbalan dari mengajarnya. Mereka mengajar karena keterpanggilan hati untuk berbagi dan mengabdi.

Ya, keterpanggilan hati untuk berbagi dan mengabdi ini yang hari ini langka dan mahal. Mungkin banyak yang mencibir dan menganggap sok suci. Namun di tengah himpitan dan serangan materialisme di kehidupan masyarakat, masih ada beberapa sosok guru yang mengajar karena hati bukan karena sertifikasi, gaji dan insentif.

Bukan berati mereka tidak membutuhkan gaji. Mereka tetap manusia biasa yang juga memerlukan makan, minum dan fasilitas yang memadai. Namun tujuan dan cita-cita besar dari seorang guru bukan untuk mencari dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya gaji sehingga bisa membeli motor keluaran terkini, bisa pergi rekreasi sampai keluar negeri atau minimal taman mini, bisa kuliner kesana- kemari, bisa membeli rumah on the city.

Jiwa guru bukan untuk mencari, tetapi jiwanya selalu ingin berbagi. Kebahagiaan menurut mereka ukurannya bukan berapa gaji yang didapat dan jabatan yang diduduki. Tapi seberapa banyak murid yang sudah bisa mengerti, bisa sukses dan bisa menjadi manusia yang berbudi. Bukan berati guru harus menjadi sufi. Sebab guru harus berjiwa memberi, bukan mencari materi dibalik seragam berdasinya.

Kaisar Jepang setelah Negaranya hancur oleh Bom di Hiroshima dan Nagasaki, beliau termenung untuk kemudian menyuruh pengawalnya untuk memanggil guru. Pengawalnya bertanya, “Kenapa bukan teknokrat yang dipanggil untuk membangun negeri ini?,” “Tidak” kata Kaisar.
Kemudian pengawal bertanya lagi, “Kenapa bukan militer yang dipanggil untuk membalas  Amerika yang telah meluluh lantahkan negeri ini?” Kaisar Jepangpun menjawab “Tidak”

Selanjutnya pengawal itu mempertanyakan lagi, “Kenapa bukan pakar ekonom yang dipanggil membenahi ekonomi negeri ini?” Maka Kaisar itupun juga menjawab, “Tidak”

Kaisar itu menjelaskan kepada pengawalnya, “ Di tangan gurulah negeri ini bisa bangkit untuk mengajari generasi-generasi dan masa depan negeri ini di tangan para guru”

Kaisar Jepang berjiwa visioner dalam melihat masa depan. Pendidikan dengan gurunya adalah kunci untuk membangun bangsa ke depan. Di tangan guru, akan lahir generasi-generasi masa depan untuk membangun bangsa.

Hari ini terbukti, Jepang bisa bangkit dari bom Nagasaki dan Hirosima. Bahkan Jepang bisa bersaing dengan bangsa yang telah meluluh lantahkannya, yaitu Amerika. Dengan guru banyak lahir pemikir, teknokrat, militer dan ekonom lahir lebih cerdas dan lebih unggul dalam rangka membangun negeri Jepang.

Guru  bisa melahirkan generasi emas karena guru berjiwa emas. Kompetensi dan komitmen yang berpadu dengan kesantunan adalah prasyarat menjadi guru berjiwa emas. Kompetensi guru yang unggul dengan keahlian dan skill melalui uji kompetensi unggul. Komitmen guru adalah lahirnya generasi bukan sekedar mencari gaji tinggi.

Bangsa ini harus belajar dari bangsa Jepang yang menempatkan guru pada tempat yang mulia. Penempatan secara struktural maupun kultural harus dilindungi oleh undang-undang dan ditingkatkan kualitasnya oleh kebijakan negara.

Bagaimana dengan negeri kita?  Tidak perlu menunggu undang-undang dan kebijakan dari para pengambil kebijakan negeri ini kalau mau menjadi guru malaikat, sebab nanti akan kecewa dan cenderung apatis. Lakukan sebisa mungkin dari diri sendiri dan sekarang juga untuk menjadi guru sejati. Wallahu a’lam bish shawwab.*/Abu Yasin/STISHID
 Wallahu a’lam bish shawwab.

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp