Guru seperti “Malaikat”

Stishid.ac.id – Guru adalah profesi yang secara fungsi ada sejak manusia ada. Nabi Adam adalah manusia pertama sekaligus guru pertama. Mengapa dia menjadi guru karena dia adalah murid pertama yang gurunya langsung Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah (2): 31-32 sebagai berikut: ” Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepadanya lalu berfirman : “sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar !” (QS, 2:31)

Selanjutnya , ayat 32 “ Mereka menjawab : “Maha Suci Engkau tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Engkau telah ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana” (QS, 2:32).

Kemudian Siti Hawa yang diciptakan setelahnya secara otomatis belajar kepada Nabi Adam. Selanjutnya anak cucunya juga menjadi kewajiban dari Adam dan Hawa untuk mengajari mereka tentang nama-nama dan kehidupan terutama tentang ketauhidan kepada Allah.

Orang tua terutama ibu adalah madrasatul ula atau sekolah pertama dengan guru pertama adalah ibu bapaknya. Lagi-lagi secara fungsi orang tua berkewajiban untuk mengajari anak-anaknya dari skill dasar yang harus dimiliki manusia seperti berjalan, berbicara, cara makan dan minum, serta cara buang air besar dan kecil.

Bagi pembaca yang sudah berkeluarga dan memiliki anak maka bisa sejenak merasakan betapa dibutuhkan kesabaran luar biasa untuk menjadi orang tua. Itulah yang juga dirasakan orang tua kita saat kita masih kecil, tanpa peran dan kesabaran orang tua maka tidak mungkin kita bisa terantar menjadi sekarang ini.

Bagi pembaca yang masih lajang, bisa melihat dan memperhatikan anak-anak kecil tetangga atau teman. Coba amati jeritan tangisannya, rewel dengan permintaannya, ngompol dan BAB yang sembarang. Betapa itu semua adalah pengorbanan dari para orang tua yang berperan menjadi guru bagi anak-anaknya.

Kemudian secara ada gerakan pengistilahan guru, ustadz, mudaris, muallim atau teacher secara formal. Tidak ada yang salah dengan istilah-istilah tersebut dan hanya perbedaan kurang lebihnya saja. Sesederhana apapun kemampuan guru yang menjalankan fungsinya mengajarkan pengetahuan dan skill kepada peserta didiknya maka itu adalah pekerjaan mulia dan berat.

Guru pantas mendapat julukan “Malaikat” karena kemampuannya mengantarkan anak-anak yang buta huruf dan buta aksara menjadi bisa membaca, menulis dan menghitung. Kemudian melalui guru, murid yang buruk akhlaqnya bisa menjadi sadar dan baik etikanya. Karena jasa guru, maka orang tidak tahu menjadi tahu.

Sadar atau tidak, mengakui atau tidak maka orang yang paling berjasa mengantar kita bisa membaca dan menulis adalah guru-guru SD kita. Mereka sangat tekun mengenalkan huruf demi huruf agar kita bisa membaca dan menulis, angka demi angka agar kita bisa berhitung. Hari ini mungkin kita merasa lebih pintar, lebih tinggi jabatannya, lebih panjang gelarnya dari guru-guru SD kita, tapi merekalah yang menata batu bata pertama untuk membangun pondasi keilmuan yang kita miliki.

Guru adalah pekerjaan mulia, sehingga Rasulullah sendiri harus mengatakan dalam sabdanya, “sesungguhnya aku diutus untuk menjadi guru” Iya Rasulullah adalah guru bagi sahabat, keluarga dan umatnya sampai akhir zaman untuk bisa mengabdi kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bukankah salah satu karakter nabi adalah tabligh yang artinya menyampaikan risalah Allah. Menyampaikan risalah Allah adalah asalah satu tugas dari para guru kepada para muridnya.

Namun meskipun guru adalah “malaikat” bukan berarti guru tidak perlu makan, minum dan istirahat. Sehingga  gaji dan kesejahteraan tidak pernah diperhatikan dengan dalih ikhlas dan ikhlas, terutama guru-guru swasta di madrasah-madrasah. Mereka (guru) bisa berfungsi sebagai malaikat tapi mereka tetaplah manusia yang memerlukan perhatian dan kesejahteraan untuk menghidupi keluarganya. wallahu a’lam bish shawwab */Abdul Ghofar Hadi/stishid

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp