Dilema Kehebatan Guru dan Dosen

Stishid.ac.id – Saat penulis mengantar anak ke sekolah PAUD (Pendidikan Usia Dini), ada seorang guru yang sudah kelihatan capek dan marah-marah padahal hari masih pagi dan belum banyak siswa yang datang. Penulis mencoba berhenti sejenak, ternyata ada salah seorang muridnya sedang lari-lari dan kesulitan dikendalikan. “Namanya saja anak-anak” Pikir penulis dalam hati. Tiba-tiba guru yang terlihat marah tadi sudah ada di dekat penulis dan bicara agak nyaring, “ Lebih mudah mengajar mahasiwa yang sudah besar-besar dari pada anak-anak PAUD” sambil ekspresi wajah yang kurang enak dipandang.

Penulis menahan diri untuk tidak menanggapi, tapi sepanjang jalan ke kantor menjadi kepikiran. “Betulkah mengajar mahasiswa itu lebih mudah dari pada mengajar anak-anak? bukan sebaliknya mengajar mahaiswa itu lebih berat?”

Sebenarnya berat dan ringannya mengajar itu bukan ditentukan oleh obyek yang diajar atau siswanya tapi pada kemampuan diri dari seorang pengajar. Mengajar anak-anak TK bagi seorang dosen yang tidak biasa mengajar anak-anak maka bisa dipastikan akan mandi keringat untuk bisa mengendalikan, dituntut bermain, menyanyi dan bercerita. Dunianya berbeda, anak-anak TK belum bisa disuruh membuat makalah, presentasi dan diskusi.

Sebaliknya bagi seorang guru TK yang biasa bercerita, menyanyi dan bermain tidak biasa mendapatkan protes maka mengajar mahasiswa. Guru TK  juga akan mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan para mahasiswa yang kritis dan pedas. Sekali lagi dunianya berbeda yang menuntut kemampuan yang berbeda pula.

Artinya ada tingkat kesulitan dan kemudahan yang berbeda-beda dalam mengajar di setiap level tingkat pendidikan. Tidak perlu membandingkan obyeknya (siswa) karena itu sudah ada konskwensi yang menyertai dalam mengajar yang harus disiapkan oleh seorang guru.

Kemudian kita juga tidak perlu membandingkan arti pentingnya guru TK dengan Dosen, artinya semua memiliki kedudukan yang strategis untk mencerdaskan bangsa. Berbicara penting dan tidak penting akan berkonkwensi pada kebijakan nasional dan lokal. Lebih jauh lagi akan ada ketersinggungan dari salah satu pihak. Semua punya alasan ilmiah dan kuat untuk menjadikan yang terpenting.

Sehingga yang terpenting bukan memperdebatkan guru di level bawah atau atas tapi sudah benarkah kita ini menjadi guru? Maksudnya guru bukan dilihat dari seragam safarinya, rutinitas berangkat pagi pulang sore dengan tas besar dengan menenteng beberapa buku tebal, wajah sok angker berwibawa. Bukan bergaya hidup hedonis, fokus pembicaraan tentang insentif, sertifikasi, gaji dan pangkat-pangkat formalitas.Tapi jiwanya memang terdidik dan mendidik.

Guru atau dosen yang digugu dan ditiru memang menuntut kesempurnaan seorang guru meskipun kesempurnaan  itu hanya milik Allah. Tuntutan kesempurnaan dalam memproses diri menjadi guru yang tidak hanya baik di kelas tapi di kelas kehidupan masyarakat yang lebih luas. Sebab ada kontrol sosial yang ketat bagi seorang guru sehingga segala tingkah laku dan penampilan akan menjadi contoh bagi peserta didiknya. Wallahu a’lam bsih shawwab.  */Abu Yasin/stishid

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp