Dilema Pendidikan Agama di era Modern

“Nak, belajar yang pintar biar jadi dokter, insinyur, drs” itulah yang sering dinasehatkan para orang tua dulu kepada anak-anaknya yang sedang menempuh pendidikan. Tiga profesi atau gelar di atas menjadi favorit bagi setiap orang tua karena ada kebanggaan dengan status sosial yang dimilikinya dan ada jaminan kehidupan masa depan yang cerah. Dulu, penulis juga merasa tersihir dan silau jika bertemu dengan orang-orang yang mempunyai gelar tersebut, seolah hebat dan elit betul karena kesan sebagai orang yang terpelajar dan suksesnya.

Saat ini, ada pergeseran sedikit karena ada pengaturan gelar yang meniadakan gelas insinyur dan drs dengan mengganti gelar Sarjana Tehnik dan Sarjana Pendidikan. Adapun gelar dan profesi dokter masih dipertahankan. Namun  orientasi orang tua menyekolahkan putra-putrinya masih tidak bergeser yaitu bertujuan untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga memperoleh kehidupan yang mapan.

Indikasi yang terukur adalah, sekolah kejuruan lebih diminati dari pada sekolah menengah umum. Sekolah kejuruan yang lebih mengedepankan pendidikan ketrampilan dan menjanjikan bisa lebih cepat kerja daripada sekolah menengah umum yang masih memerlukan kuliah lagi untuk bisa
mendapatkan pekerjaan. Apalagi madrasah-madrasah yang terfokus pada pendidikan agama dan moral, kurang peminat dan hampir tutup tikar.

Kemudian dunia perkuliahan di hampir seluruh perguruan tinggi juga mengalami fenomena yang memprihatinkan yaitu beberapa fakultas harus ditutup karena kurang peminat. Fakultas dakwah contohnya, dianggap tidak menjanjikan alumninya untuk bisa diterima di instansi pemerintah
dan swasta. Karena lapangan pekerjaan bagi alumni fakultas dakwah sebatas menjadi juru dakwah, penceramah yang itu juga tidak bisa dianggap profesi yang keren dan honornya tidak tentu, apalagi da’i pedesaan atau da’I pembangunan di daerah transmigrasi.

Fakultas syari’ah juga mengalami nasib serupa dengan fakultas dakwah, selain jurusan Perbankan Islam dan Ekonomi Islam. Kedua jurusan ini adalah jurusan baru di fakultas Syari’ah dan menjanjikan profesi yang mapan yaitu menjadi pegawai bank, apalagi dengan menjamurnya perbankan syariah di Indonesia ini.

Hal ini berbeda dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri atau swasta ternama dengan fakultas-fakultas bonafit yang sudah membuktikan alumni siap pakai dan mudah diterima di lapangan kerja. Maka bisa dipastikan perguruan tinggi tersebut selalu dibanjiri peminat meski
biaya kuliahnya sangat mahal dan persaingan sangat ketat.   Maka nilai jual sebuah perguruan tinggi adalah kiprah alumni bisa menjadi atau bekerja apa saja dan di mana saja.

Sekolah-sekolah yang ada ikatan dinas dan menjanjikan pekerjaan masa depan yang pasti maka sangat diminati dan menjadi favorit. Seperti, STPDN, STAN, Sekolah Taruna Nusantara, Akademi Militer dan banyak sekolah bentukan pemerintah atau perusahan swasta yang lain.

Inilah jebakan kapitalisme berbasis materialism yang menjadikan profesi, kekayaan, harta menjadi tujuan utama dalam kehidupan. Termasuk di dalamnya sudah merasuki dunia pendidikan, seorang siswa atau mahasiswa belajar bukan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan atau menjalani kehidupan di dunia lebih bermakna. Tapi mereka sekolah atau kuliah untuk bisa mendapatkan pekerjaan, uang dan kehidupan yang layak. Sebenarnya tidak salah atau manusiawi memiliki keinginan
tersebut tapi menurut kaca mata keimanan, semestinya belajar tidak terjebak dalam kebutuhan prakmatis.

Kehidupan yang bertujuan materialism tidak jauh berbeda dengan kehidupan hewan yang mengisi seluruh kehidupannya hanya untuk kebutuhan fisik saja yaitu makan, minum, istirahat dan seks. Di mulai sekolah PAUD (pendidikan usia dini) untuk masuk Play Group kemudian di Taman Kanak-Kanak. Setelah itu melanjutkan di SD, SMP, SMA/SMK, kemudian ada yang kuliah S1, mungkin sampai S2 dan S3. Mencari pekerjaaan, mendapatkan penghasilan kemudian menikah mempunyai istri dan anak sampai cucu, bisa membangun rumah, membeli mobil kemudian umur semakin tua dan meninggalkan dunia alias mati. Terlalu sederhana dan kurang bermakna kehidupan ini kalau sekedar siklusnya seperti di atas apalagi  terbatas hanya sampai kurang lebih 70 tahun. Adapun kehidupannya setelah meninggal atau di akherat nanti menjadi tanda tanya besar. Padahal hidup di dunia adalah untuk mempersiapkan kehidupan setelah kematian.

Dalam hal ini, bukan berarti tidak perlu belajar atau tidak boleh sekolah sampai S3 atau mendapatkan kekayaan tapi yang menjadi perbedaan mendasar adalah niat atau orientasinya dan cara yang
ditempuhnya. Bagi orang beriman, visi sekolah harus sama dengan tujuan manusia diciptakan Allah di dunia ini yaitu beribadah kepada-Nya. Artinya dia belajar dan kekayaan yang diperolehnya sebagai fasilitas untuk bisa mendekat kepada Allah bukan malah menjauh dari-Nya.

Sehingga belajar dan kekayaannya bisa lebih bermanfaat dan bernilai secara hakiki di hadapan Allah. Jadi bisa saja orang belajar sama-sama di bangku sekolah yang sama dan mendapatkan ilmu dan kekayaan yang sama tapi menjadi sangat berbeda nilainya karena orientasi atau tujuannya berbeda. Sikap proses dan ujung yang ditunjukan juga berbeda.

Kemudian orientasi ini biasanya berdampak kepada caranya. Jika orientasi belajar itu memang untuk beribadah maka cara yang ditempuh tentu mempertimbangkan halal dan haram, mengedepankan kejujuran dan menggunakan cara-cara yang elegan. Adapun pendidikan yang berorientasi pada kekayaan maka biasanya menghalalkan segala cara dan mudah stress jika tidak mendapatkan kekayaan tersebut.

Problematika  dunia pendidikan di Indonesia tidak lepas dari permasalahan orientasi dan caranya. Bentuknya yang mengemuka berwujud problem kurikulum, guru, system ujian, buku pelajaran, siswa-siswi yang sepak terjangnya menghiasi  media setiap hari. Pemerintah sudah berusaha meningkatkan anggaran pendidikan 20% dari APBN atau APBD, tapi permasalahan baru muncul karena dana tidak tepat sasaran atau ke sasaran tapi tidak maksimal karena banyak kebocoran. Para pakar pendidikan juga mengalami kesulitan seperti mengurai benang kusut jika tidak memulai dari untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini? Hidup ini dari Allah, oleh kehendak Allah dan untuk kembali kepada Allah juga.*/Abu Yasin/stishid.ac.id

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp