Romantisme Perjuangan

STISHID – No one remembers who came in second. Entah mengapa kalimat di atas seolah jadi “mantera” ampuh dalam sebuah pertandingan atau perlombaan

Kata mendiang Walter Hagen, tak ada yang ingat siapa juara duanya. Atau bahasa gampangnya. jika anda ingin dikenang maka jadilah pemenang.

Doktrin di atas berhasil masuk ke alam bawah sadar manusia. Kini seluruh lini kehidupan manusia tak sepi dari pertarungan dan perlombaan. Semua berebut menjadi numero one. Menurutnya tak sah jika ia tak tampil sebagai pemenang nomor wahid. Maka yang terjadi kemudian adanya kemapanan keadaan, jika ingin disenangi, maka menangi lomba itu.

Jika kalimat jawara golf asal Amerika itu ditarik ke belakang sejenak. Rupanya ungkapan itu betul adanya di banyak hal dan kesempatan. Tapi tidak benar buat semuanya dan selamanya.

Dalam beberapa momen kejadian, terkadang kesan itu justru terpatri pada mereka yang tak mengangkat trophy pertanda juara. Ada masa di mana pemain atau tim yang dielukan malah tak mendapat apa-apa dari sebuah perlombaaan.

Jika berwaktu lowong, bolehlah anda meminjam jasa youtube menengok aksi kesebelasan Brasil di world cup tahun 1982 dalam gelar pesta bertajuk “Espana 82” itu. Brasil menjadi tim yang paling disorot. Seluruh pemain yang diangkut dari negeri penari samba itu punya talenta dan skill di atas rata-rata. Setidaknya itu terlukis oleh percaya diri Serginho, striker haus gol Brasil. “hanya kerendahan hati saja yang mungkin tidak kami punyai.” ucap Serginho berbangga.

Meski digadang-gadang sejak awal sebagai favorit juara, ternyata kesebelasan Brasil tak punya semacam taktik khusus. Oleh media, pola mereka dikata sangat sederhana. Turunkan 11 pemain di lapangan dan terserah lawan ingin bermain bagaimana, kita ladeni. Rupanya, kesebelas pemain Brasil itu punya naluri mencetak gol yang sama dahsyatnya (kecuali kiper tentunya).

Belum lagi tarian samba mereka yang menghibur para penonton kian menahbiskan mereka. bahwa tak ada yang layak juara kecuali tim samba. Maka klimaksnya ada pada pertandingan versus Italia waktu itu.

Brasil yang hanya butuh seri untuk maju ke babak selanjutnya, malah asyik menggelar tarian samba dengan aksi ciamik para pemain mereka. Uniknya lagi, seolah mereka berkata, silakan jebol gawang kami. setelah itu pasti kami balas kembali

Alhasil, dua kali Brasil tertinggal, maka dua kali pula brasil dengan mudah membalas dan menyamakan kedudukan.Hingga akhirnya gol ketiga Paolo Rossi tak bisa mereka balas lagi. Adegan romantis itu berujung tragis, Brasil tersungkur dengan skor akhir 2-3. Hattrick paolo rossi berhasil mengubur Brasil bersama tarian samba mereka

Kalimat pengantarnya kepanjangan ya? hehe.. Itulah gambaran paling sederhana dari sebuah romantisme. Romantisme itu terkadang bisa melenakan dan melalaikan. Sekaligus mampu menyisakan keping keindahan suatu peristiwa. Romantisme itu melahirkan pujaan dan sanjungan

Singkat kata, romantisme ialah anti kemapanan. Indah dikenang meski terkadang ia menerjang aturan. Ketika tim-tim lain memeras keringat berburu gol kemenangan, justru kesebelasan pemain Brasil larut dalam kesenangan goyang tarian samba mereka.

Ok. lupakan Serginho dan artis-artis lapangan hijau Brasil lainnya. Sekali lagi. penulis tidak membahas atau menganalisa suatu pertandingan sepakbola kini. Tetapi mari berbicara tentang hunian asri kita. sebuah kampung halaman bernama Gunung Tembak. Di sana ada graha damai bersebut Stis Hidayatullah

Masa penulis nyantri dulu, ada ungkapan begini “jadi santri itu, baiknya;
gak usah rajin betul,
gak usah pintar betul,
gak usah taat betul,
yang penting ikuti saja aturan pesantren”

Entah dari mana asal usul kalimat itu, hingga sekarang sanad ucapan terputus, tidak tersambung
perkataan itu tidak jelas hendak disandarkan kemana atau ke siapa

Sadar tidak sadar, boleh jadi penulis (waktu nyantri) ikut termakan doktrin tanpa sanad itu. Bahwa penulis ingin dibilang rajin, tidak juga. Hendak dikata malas, ah kayaknya tidak pas juga hehe. Bahwa penulis mau disebut kuat bekerja, jelas tidak benar. Tapi untuk dicap malas pun maka “tuduhan” itu perlu bukti yang akurat hehe.

Kembali ke ucapan Walter Hagen di atas, ternyata ungkapan itu memang tak sepenuhnya dan setiapnya serta seterusnya dan selamanya benar. Menariknya, teori Walter Hagen itu justru terpatahkan oleh konsensus ala santri yang mendiami gubuk dahulu. Bahwa, yang rajin dan alim banget itu (biasanya) justru cepat goncang dan lari dari pesantren hehe. Masih alasan santri, yang pendiam atau terlalu cerdas itu (biasanya) malah berpotensi taga’ (bacanya pake logat bugis)

Ah sampai di sini rasa-rasanya penulis ingin berkata begini ternyata romantisme itu memang selalu ada di mana-mana. Ketika sebuah aturan ingin ditegakkan, terkadang ada-ada saja mahasiswa yang malah menabraknya. Jika demikian, maka boleh jadi itulah yang disebut romantisme mencetak kader. Bahwa nafas itu tak selalu baik jika sepanjang waktu (hanya) berdetak tenang (saja). Sekali waktu ia harus melakoni sport jantung, sebab biasanya itulah yang membuat jantungnya sehat terjaga.

Seorang pengasuh, tak bisa berharap dan percaya jika semua santri itu rajin seirama dalam seasrama. Sebab ia harus menyadari bahwa keberadaan santri yang berakal kancil (mucil) itulah yang menjadikan hidupnya dipenuhi pelangi warna romantisme. Menjadikan ia selalu sadar agar tetap berpijak di bumi.

Sekali masa ia wajib memberi pujian dan sekali waktu siap-siap menjewer kuping kiri seorang santri. Apalah arti absensi atau presensi, jika ternyata semua mahasiswa Stis sudah sadar dan rajin semua ? Tapi itulah romantisme seorang dosen Stis. Ia datang dengan semangat full untuk berbagi ilmu. Lagi on fire dan sedang merah menyala, kata istilah ah rupanya mahasiswa yang hendak diajar itu lebih memilih lelap dalam mimpi indahnya.

Sang dosen berbicara tentang peradaban sedang mahasiswa terkulai di negeri antah berantah. Seolah romantisme mencetak kader ini ingin menitip pesan. Benteng asrama yang kokoh dengan aturan yang ketat sekalipun, harusnya selalu bersiap dilabrak oleh laku sebagian mahasiswa yang seolah tak peduli dengan itu semua. Sekali lagi, (mungkin) inilah yang disebut romantisme mencetak kader

Sampai di sini, romantisme yang penulis maksud.Tentunya bukan sebagai justifikasi atas pelanggaran yang dilakukan. Romantisme bukan pula bahasa apologi atas kelemahan, bahkan ketidaktaatan dalam menaati sebuah aturan.

Romantisme bukanlah bahasa agitasi apatah lagi provokasi untuk sebuah kekerdilan jiwa yang suka merongrong. Tapi itulah romantisme. ia bisa mendobrak sebuah tembok kemapanan, ia dipuji bahkan dicaci hanya seselang sesaat dari putaran waktu.

Untuk itu penulis beri contoh sederhana begini, mereka para santri yang ingin bernostalgia di masa silam. Maka sadar tanpa sadar, kenangan pertama yang terlintas di benak mereka justru masa di mana mereka sukses dalam misi “penculikan” buah cempedak peraman santri lain. Atau ketika lagi reunian ala santri misalnya.

Ternyata cerita usil tentang mengerjai guru atau bolos sekolah, lalu sembunyi ke gubuk atau memancing asap di kebun singkong. Justru menjadi hiasan pembicaraan mereka yang lebih dominan,
bahkan mereka seakan sepakat tak usah bicara tentang santri yang rajin atau mereka yang baik.

Mengapa demikian? Ah mungkin ini yang disebut romantisme mencetak kader itu. Ia bisa dipuji dan dicaci, benci tapi rindu jua, ucap sebuah lirik lagu.

Kini, seiring waktu berjalan. Ada harapan dan keyakinan untuk melihat kebaikan itu kian sempurna. Semua kita berharap, adanya sistem yang (lebih) mapan sebagai jaminan bagi keberlangsungan proyek kebaikan tersebut. Maka izinkan penulis mengajak untuk menengok sejarah silam, bahwa masa sahabat Nabi yang didaulat sebagai generasi terbaik itupun tetap saja menyisakan kisah romantisme mencetak kader itu.

Semilir angin yang bertiup dari bukit Uhud seolah tak pernah lelah memberi petuah bahwa kemapanan yang dimimpikan ternyata selalu beririsan dengan romantisme itu.

Bagi seorang beriman
Bagi seorang pejuang akidah
Bagi seorang kader dakwah
Bagi seorang pendidik umat

Romantisme itu ada untuk menebalkan keyakinan kepada Tuhannya. Bahwa di balik segala planning dan by design yang mereka siapkan tetap saja doa dan tawakkal itu wajib menyertai mujahadah sebelumnya.

Romantisme itu ada untuk menderaskan arus kesabaran dalam jiwa. Bahwa terkadang ada hal yang tak disukai tapi ia kerap tetap terjadi. Sebab memang sabar itu tak sekedar diucapi, sebab memang sabar itu tak semata dirasai. Tapi sabar itu dimaknai dengan aksi nyata di medan dakwah.

Romantisme itu ada untuk melapangkan hati dan fikiran kita. Ternyata manusia itu diberi karunia berbeda-beda. Potensi itu kuat jika dirakit dan bukan untuk disambit. Bahwa pelangi itu indah ketika terbit dengan mewarna mewarni. Dan pelangi itu kini bernama Stis Hidayatullah. Sedang romantisme mencetak kader itu bernama seluruh alumni kebanggaan Stis dimanapun ia berada kini.

Tak peduli apakah dulu mereka pernah juara satu atau bukan. Tak peduli apakah dulu mereka pernah melanggar aturan. Atau tanpa titik noda selama empat tahun masa pendidikan dan pengkaderan.

Selama mereka masih menegakkan ilmu dan dakwah dalam barisan pejuang Islam, maka mereka para alumni kebanggaan itu layak dikenang. Mereka dikenang dalam keindahan kisah romantisme mencetak kader. */ Masykur-Stishid

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp