Aku Bangga Menjadi Kader STIS Hidayatullah

STISHID – Anda kenal Jose Mourinho? yup pelatih sepakbola yang berjuluk the special one itu pernah berkunjung ke indonesia (23-25 juli 2013 lalu). Saat itu Mr. Mou sedang rihlah bersama santri-santrinya yang tergabung dalam klub Chelsea. Dalam kunjungan bertajuk Asia Tour tersebut, klub asal kota london itu berencana melakoni beberapa partai uji coba di sejumlah negara Asia termasuk Indonesia

“Timnas anda harus bermain dengan passion yang tinggi. Anda harus bangga saat menggunakan seragam timnas. Jika anda sudah memiliki itu maka anda akan lebih kuat dari kemampuan anda yang sebenarnya. Bahkan jika anda tidak punya potensi yang bagus dan lawan anda lebih kuat. Jika anda bisa bermain dengan kebanggaan maka anda bisa lebih baik.”

Ungkapan di atas diucap oleh Mr. Mou dalam sebuah jumpa pers bersama sejumlah pemain bintang Chelsea.

Di sisi lain, dalam acara yang berbeda. seorang Djohar Arifin, Ketua Umum PSSI kala itu
juga berucap statement di hadapan penonton Mata Najwa (realiti show di salah satu stasiun tv-red), “posisi kita masih di bawah, syukur-syukur mereka mau datang ke sini.”

Apa yang kalian pahami dari kisah di atas? Apa? penulis adalah bola maniak? hehe.. Sebenarnya tidak juga demikian. Cuma terkadang penulis merasa lebih renyah jika analisanya beririsan dengan si kulit bundar itu.

Mari menengok hunian asri kita di STIS Hidayatullah. Sekaligus lupakan Mourinho, coach yang berdarah portugal itu. Tak usah ingat apalagi sekedar ingin mereka sesiapa di antara bintang-bintang Chelsea yang datang saat itu. Sebab kita ada di STIS Hidayatullah, maka mari bicara tentang STIS Hidayatullah

Tugas dakwah ke daerah adalah identitas seorang kader STIS Hidayatullah. Ibaratnya, tugas itu adalah mimpi “wajib” yang harus dilewati oleh setiap mahasiswa. Bahwa ia benar seorang kader karena ia pernah dan sedang menjalani tahapan tersebut.

Namun tak bisa dipungkiri (pula), tak semua kembang tidur itu berbuah jadi mimpi indah. Terkadang seorang alumni STIS  justru merasakan goncang berat ketika telah landing di tempat tugas. Seribu alasan lalu bisa dipapar di pasar. Deretan alibi itu lalu bisa dibaris di kota Paris. Bahwa yang klasik bin klise itu kala alumni tersebut curhat begini dan begitu.

Rupanya ia tidak pede dengan kualitas alumni STIS Hidayatullah yang disandangnya. Tiba-tiba ia serasa Daud yang dipaksa melawan raksasa Goliath yang super perkasa. Perasaan ciut itu mendadak muncul justru ketika ia diperhadapkan dengan ragam problema umat.

Sampai di sini, rasa-rasanya penulis ingin bertemu sejenak dengan Jose Mourinho (kembali). Rasa-rasanya penulis ingin minta izin kepada Mourinho untuk meminjam kata-katanya sejenak. Benarkah alumni STIS yang telah diberkati dengan doa para dosen dan seluruh warga Gunung Tembak itu
benar-benar sebagai orang yang tak berpunya (ilmu) ?

Ataukah justru mental kita saja yang terlanjur down melihat aksi ciamik lawan di lapangan. Betulkah seorang alumni STIS Hidayatullah yang telah menempuh masa pendidikan dan pengkaderan semasa empat tahun serasa tak punya sepotong ayat atau selarik hadits Nabi yang bisa diajarkan di daerah tugas ? Atau justru kader tersebut kehilangan identitas bersebab kesalahan ia sendiri ?

Bangga (baca: bukan sombong).

Rasa bangga itu yang mungkin hilang dari diri seorang kader STIS Hidayatullah hari ini.

Ia tak lagi bangga menyandang predikat seorang kader STIS Hidayatullah.

Ia tak lagi bangga mengaku pernah dididik di lingkungan kampus Gunung Tembak, sedang sahabat lamanya di kampung mungkin telah merantau kerja di negeri lain.

Ia tak lagi bangga hanya gara-gara ijazahnya cuma S.H.I. Yang kata orang, cocoknya cuma kerja di KUA Kecamatan atau di Kantor Pengadilan.

Ia tak lagi bangga dengan sematan ustadz (ustadzah) muda pada dirinya, sedang pemuda dan (pemudi) sebayanya justru asyik bermimpi menjadi artis beken.

Ia tak lagi bangga sebab rute keseharian dalam hidupnya beralur tetap. Dari masjid ke sekolah, dari dakwah dan taklim, seterusnya cuma mengajar TPA atau Iqra buat anak-anak

Penulis ulangi, bangga di sini bukan bersikap sombong atau angkuh. bukan pula ujub dan tinggi hati. Bangga di sini hanya sebagai wasilah yang melahirkan rangkaian kesadaran dan perilaku positif.

Meminjam istilah mourinho di atas.Dengan rasa bangga sebagai seorang kader, maka akan terlahir determinasi bermain yang tak kenal lelah. Bersebab bangga dengan balutan sebutan kader STIS Hidayatullah. Maka selayaknya para alumni bermain dengan passion yang tinggi.

Seorang yang bangga dengan kekaderannya akan terus berlari sepanjang lapangan, seolah lupa jika hidup inipun dibatasi oleh jam dan hari. Ia menjadi sosok yang penuh inovasi, tak terpaku dengan satu pola permainan. Sebab kondisi umat dan tantangan dakwah pun juga beragam di lapangan.

Bahkan sekiranya kader tersebut bertemu dengan lawan yang benar-benar kuat. Maka sekali lagi, kebanggaan sebagai lulusan kader Gunung Tembak menjadikannya bangkit lalu yakin. Sebab memang doa jamaah itu tiada putus bagi yang terus berlari di lapangan.

Bangga ini bukan berarti tak mengakui kekurangan diri. Justru ia sadari itu, olehnya ia tak boleh berhenti bergerak.,apalagi sekedar meratapi diri.

Bangga ini bukan berarti melecehkan lawan. justru ia menghormatinya dengan meladeni secara sungguh-sungguh.

Bangga ini bukan bermakna lupa Tuhan. justru ia pertama kali tersungkur di hadapan-Nya. Ia jemput pertolongan itu dengan all out mujahadah dan doa yang maksimal.

Bangga ini bukan berarti tak butuh kawan. justru hari-harinya sibuk menggenggam jemari kawan. Agar potensi itu kian kuat. bahkan merangkul lawan jadi kawan.
Bangga ini bukan bermakna tanpa persiapan. justru ia jadi gila dengan melahap semua bacaan dan referensi.

Dosen Pun…

Meminjam istilah Mourinho di atas. Dosen STIS yang bangga adalah mereka yang fokus dengan amanah raksasa ini. Mencetak kader dakwah untuk disebar ke seluruh pelosok negeri.

Dosen yang bangga adalah mereka yang selalu sabar sekaligus semangat mengajar. Sebab yang terbayang adalah ganjaran berkah yang melipat.

Dosen yang bangga adalah dosen yang tak kenal lelah meski ia sendiri teramat penat dengan tumpukan pekerjaan yang mendera. Sebab ia sadar, ada sejuta umat menunggu hasil dari kesabarannya mendidik mahasiswa.

Sekali lagi, kita tak bisa menutup mata atas semua borok yang melekat. Tapi ia tak cukup diratapi sendu, apalagi kabur dari amanah. Sebab ia hanya menambah sembilu pilu.

Semua mulut harus berucap iya atas minimnya kualitas dari standar yang ideal. Tapi ia tak cukup disesali apalagi diomeli, sebab dakwah .

Titik Cerah Itu…

Titik cerah itu bernama kebanggaan dan kesadaran. Bangga berseragam kader STIS Hidayatullah. Menjadikan ia sadar akan amanah berat yang dipikulnya.

Bangga berseragam kader STIS Hidayatullah menjadikan ia sadar meyakini iringan keberkahan doa dari seluruh warga Gunung Tembak.

Bangga berseragam kader STIS Hidayatullah menjadikan ia sadar agar tak silau dengan permainan lawan. Tapi juga mendorongnya terus menempa diri.

Sebab bangga itu bersyarat karya nyata bukan sekedar pengakuan di lisan. Bangga berseragam kader STIS Hidayatullah menjadikan ia sadar untuk berani berobsesi tinggi. Sebab ia punya mimpi besar yang melompati apa yang difikirkan manusia hari ini.

Apa jadinya ketika bangga itu tercerabut dari dada seorang kader STIS ?

Asalnya ia punya potensi, tapi ia ragu bahkan dirinya pun sungkan mengakui.

Asalnya ia mampu mengajar, tapi terlanjur ia menolak dengan seribu alasan yang dibuat.

Asalnya ia bisa berdakwah, tapi ia terlanjur mengatai dirinya tak sanggup apa-apa.

Asalnya ia bisa memecahkan persoalan, tapi lidahnya terlanjur kelu, tangannya terlanjur terbelenggu, fikirannya terlanjur dirasuki tidak mampu dan tidak mau.

Toh, kalaupun ia mengajar, ia berdakwah, ia bekerja, ia bermusyawarah, maka ia tak pernah bisa tampil dengan performa terbaik yang ia punyai. Sebab selalu saja ia dihantui rasa tak mampu dan tak bisa serta tak sanggup apa-apa.

Akhirnya yang ada hanyalah senandung sendu ala Djohar Arifin. posisi kita masih di bawah, syukur-syukur mereka klub Eropa itu mau datang kemari Akibatnya, meski Timnas Indonesia dibantai dan digulung oleh lawannya, selalu saja ada kilah klise untuk menghibur diri. Menambah jam terbang,  menimba pengalaman. mengasah teknik. mengukur stamina dan seterusnya.

Akibatnya. Tak ada risau ketika kader STIS Hidayatullah tak mampu menjawab pertanyaan tentang thaharah dari seorang santri misalnya.

Tak ada gulana, ketika kader STIS Hidayatullah langsung keringat dingin ditanya oleh ibu pengajian tentang masalah shalat.

Tak ada risau ketika kader STIS Hidayatullah lupa cara tayammum untuk hadats besar
dan seterusnya.

Sekali lagi, bukan kader STIS Hidayatullah itu tak pernah belajar. Bukan kader stis itu tak dibekali ilmu sebelum terjun dakwah. Bukan kader stis itu tak punya buku untuk dirujuk.

Tapi boleh jadi ada mental tarung yang perlu dibenahi. Boleh jadi ada kebanggaan sebagai seorang kader STIS  yang perlu dirapikan kembali.

Alhamdulillah, kita dipertemukan di muster point bernama hidayah

Menjadikan diri ini lapang terhadap nasihat dari yang lain.

Menjadikan jiwa ini selalu rindu mendapat nasihat dari para guru kita.

Menjadikan dahaga akan ilmu dan amal itu seolah tak terpuaskan.

Menjadikan hidup jadi berlomba dalam menabur karya kebaikan selalu.

Spesial thanks to:

– Dosen-dosen stis hidayatullah
– Para alumni dan kader stis di seluruh pelosok negeri
– Para mahasiswa/i yang sedang menikmati sekeping episode terindah dalam hidupnya

Mari bangga selaku kader STIS Hidayatullah
Mari selalu berbenah diri untuk umat yang menanti.

*/Kado dari Ustadz Masykur Untuk para Alumni, Mahasiswa dan Dosen

Baca juga kado yang lain:

Je Suis STIS

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp