Menjadi Muslim Ajaib

MENTARI pagi baru saja menyapa kota Makkah. Penduduk kota yang dibangun oleh Nabi Ibrahim tersebut geger. Kala itu Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam menuturkan kisah perjalanan yang baru saja dilewatinya.

Nabi mengaku, dengan berkendara Buraq, Nabi menelusuri perjalanan dari Masjid al-Haram di Makkah menuju Masjid al-Aqsha di Wilayah Syam. Usai “transit” di al-Aqsha, Palestina, Nabi lalu diangkat ke atas langit hingga lapisan ketujuh atau Sidratul Muntaha. Bahkan sampai ke Bait al-Makmur berjumpa dengan Allah.

Sontak saja seluruh penduduk Makkah gempar. Sebab menurut Nabi, rute yang sulit dijangkau akal sehat itu ditempuh dengan masa yang tidak masuk akal pula. Hanya satu malam saja, kata Nabi.
Alhasil, ibarat seekor kucing yang disuguhi ikan, momen tersebut benar-benar dimanfaatkan oleh kaum musyrikin untuk menghantam gerakan dakwah Nabi. Alih-alih percaya dengan kisah mukjizat Nabi di atas, peristiwa itu menjadi bahan olokan baru kafir Quraisy atas Nabi Muhammad.
Bisik-bisikpun merebak. Layaknya api yang melahap dedaunan kering. Sekejap mata, berita menggemparkan itu langsung menghiasi setiap sudut kota Makkah. Sebagian kaum muslimin kini dilanda keraguan. Rupanya tokoh-tokoh musyrik Quraisy terus bergerilya menebar fitnah dan melakukan provokasi.

Kini, mereka merasa di atas angin. Mereka punya bahan olokan baru kepada Nabi Muhammad. Menganggap Nabi lagi dilanda goncang berat akibat kepulangan Khadijah, istri tercinta dan Sang paman, Abu Thalib ketika itu.

Sungguh, bagi orang beriman ketika menghadapi suatu masalah, sandaran mereka tentu  hanyalah kepada Allah dan nilai-nilai keimanan itu sendiri.

Mereka sama sekali tidak terusik dengan penggembosan yang dilakoni oleh Abu Jahal Cs. Ketika orang-orang musyrik melihat persoalan hanya dengan akal fikiran mereka, maka bashirah (pandangan) orang beriman melompati itu semua. Nilai mereka tetap bersandar kepada apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya saja.

Meski sama-sama menjalani kehidupan di dunia. Namun cara berfikir seorang Mukmin berorientasi kepada kehidupan Akhirat. Ia senantiasa memandang suatu persoalan dengan kaca mata iman, tidak semata mengandalkan logika saja. Dengan lantang Abu Bakar menegaskan, andai cerita yang disampaikan itu lebih “heboh” sekalipun. Niscaya ia tetap percaya selama yang menyampaikan kisah itu adalah Nabi Muhammad.

Kisah Isra Mi’raj di atas menyimpan mutiara nasihat yang sangat agung. Setiap manusia punya permasalahan dalam kehidupan ini. Persoalan besar ataupun sepele, tetap saja ia sebagai suatu masalah. Bagi seorang Muslim, masalah boleh saja sama dengan orang lain. Tapi cara berfikir dan penyikapan berbeda membuat ia tak pernah terbebani dengan suatu persoalan.
Di saat Abu Jahal dan orang musyrik bertambah kafir dengan peristiwa Isra Mikraj. Dengan kasus yang sama, justru Abu Bakar berhasil melakukan lompatan iman yang sangat spektakuler. Abu Bakar semakin mantap dengan keyakinannya dan kian percaya dengan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah yang benar.

Tak heran, orang-orang di sekitarnya tak segan menggelarinya dengan sebutan yang sangat masyhur, ash-Shiddiq.

Sebagai sosok pemenang, seorang Muslim senantiasa memberikan solusi dan pencerahan kepada orang lain. Bukan malah menggerutu dengan persoalan yang ada atau menyalahkan orang lain dan lingkungan sekelilingnya. Manusia ajaib, demikian kata Nabi ketika menyifati orang-orang beriman. Segala urusan senantiasa berujung baik di tangan mereka. Apapun persoalan tersebut.
Ketika mendapati urusannya sesuai dengan keinginan, maka ia menjadi hamba yang bersyukur kepada Tuhannya. Sebaliknya, jika harapan seorang hamba belum dikabulkan, Nabi mengajari agar bersabar menghadapi masalah tersebut. Sebab terkadang ada skenario lebih indah yang disiapkan oleh Allah dibalik peristiwa yang dihadapinya.

Allah berfirman:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

“Dan apapun musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”(Surah asy-Syura [42]: 30).

Ali bin Abi Thalib berkata: Maukah aku tunjukkan ayat yang paling utama dalam al-Qur’an? Setelah membaca ayat di atas, Ali menjelaskan, hendaknya setiap Muslim senantiasa berlapang dada dalam sebuah urusan.

Allah mengisyaratkan, acap kali akar masalah itu berujung oleh ulah manusia sendiri. Tanpa perlu menuding dan mengacung telunjuk kepada orang lain. *Masykur (Peserta Kaderisasi Seribu Ulama Baznas-DDII 2014/ Mahasiswa Pasca Sarjana UIKA Bogor)

Tulisan ini telah dimuat di hidayatullah.com

Share