Egaliter dan Perihal Bid’ah (Fantasyiru bagian 2)

STISHID — Mengajar dengan muta’allim yang majemuk itu harus hati-hati. Sekolah kami di Malang memang tidak menggunakan latar belakang pemahaman agama sebagai filter untuk menerima peserta didik. Sisi posotifnya, ini merupakan bentuk egaliter; di mana kita tidak membeda-bedakan denga siapa kita “bermuamalah”. Tapi dampaknya, pemahaman peserta didik yang beraneka warna akan membuat kita menjadi lebih berhati-hati. Bagus, sih…

Suatu sore di kegiatan halaqoh qur’an. Ini pertemuan pertama kami untuk murajaah hafalan al Qur’an di semester genap. Kegiatan ini dilakukan untuk menguatkan hafalan yang telah disetorkan ada halaqoh ba’da subuh. Beberapa menit menjelang maghrib, murajaah saya stop. Selesai menuntaskan ayat terakhir, secara koor tanpa komando, santri menutup dengan shadaqallahul ‘azhim. Menutup pertemuan, saya memberi sedikit bayan.

“Diantara kesalahan yang jamak dan kerap dilakukan para pembaca alQur’an adalah selalu berusaha menutup tilawahnya dengan shadaqallahul ‘azhim,” terang saya memancing perhatian.

Mendengar itu, sebagian santri kaget. Sebagian lain mungkin masih mencerna kalimat. Dan, terlontarlah kalimat, “Oh, iya, kah, ustadz ?” Wajar mereka kaget. Sebab, di semester ganjil yang lalu, hal tersebut sudah sering mereka lakukan dan saya tidak berkomentar. Baca juga : Fantasyiru (1)

Saya tidak mengatakan bahwa itu adalah kesengajaan. Terlebih mereka juga tak bertanya kenapa baru sekarang saya ngomong demikian. Yah, inilah realitanya. Sebagai murabbi untuk sekolomok santri dengan latar belakang pemahaman agama dan manhaj yang sangat beragam, kita dituntut untuk harus berhati-hati untuk menyampaikan sesuatu, utamanya yang berkaitan dengan hukum-hukum.

Selain itu, penyampaian itu juga diharapkan tidak menjadikan mereka shock. Cukup kaget saja. Masih mendinglah. Setidaknya, dengan begitu, mereka tidak anti pati dengan dakwah.

Asy-Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah al Fauzan pernah ditanya tentang hukum orang yang menutup tilawahnya dengan shadaqallahul ‘azhim. Beliau –hafizhahullahu- menjawab, “Tidak terdapat riwayat baik dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– maupun para sahabat –ridhwanullahu ‘alaihim– serta salafus shalih –rahimahumullahu jami’an– yang terbiasa mengucapkan kalimat ini setelah selesai membaca al Qur’an.

Maka terus menerus membiasakan diri membaca kalimat ‘shadaqallahul ‘azhim’ dan menjadikannya seolah-olah termasuk salah satu hukum dan kewajiban saat membaca al Qur’an termasuk perkara bid’ah yang tidak ada keterangannya.”

Nah, perhatikan jawaban Syaikh Fauzan di atas. Jawaban ini juga insya Allah segendang sepenarian dengan ulama-ulama lainnya. Kalau saya menukil bebas jawaban seperti untuk disampaikan kepada santri, tentu akan ada sikap anti pati. Maklum, bahasa bid’ah biasanya membuat sebagian orang tiba-tiba alergi. Dan itu juga berlaku bagi para santri yang punya latar belakang agama beragam warna-warni.

Untuk itu, dibutuhkan metodologi khusus dalam penyampaian bahasa kepada santri. Dalam penjelasan saya diawal, saya gunakan kalimat ‘kesalahan yang jamak dan kerap dilakukan’ sebagai pengganti bahasa bid’ah untuk mengawali pembicaraan.

Tapi nyatanya, ada ada juga yang beranggaan itu adalah bid’ah. Selesai memberikan penjelasan tambahan, seorang  santri mencoba menyela dengan pertanyaan, “Apakah itu termasuk bid’ah, ustadz ?”

Wah, dalam benak saya terbayang akan menjadi berat dan luas pembahasan ini. Maka cepat-cepat saya ralat, “Maaf, saya tidak bilang ini bid’ah.” Khawatir akan memicu pembicaran bahkan perdebatan yang lebih serius.

Lebih jauh saya menjelaskan. Bahwa lafazh shadaqaLlahul ‘azhim adalah lafazh yang benar secara makna. Bahwa memang benarlah Allah itu Maha Benar, tidak ada yang meragukan itu. Bahkan Allah sendiri yang menjelaskan dalam salah satu firman-Nya. Tetapi yang salah adalah kebiasaan kita yang selalu menutup tilawah dengan lafazh itu. Terlebih jika hal itu kita pahami sebagai sesuatu yang sunnah. Sebab ancamannya berat.

Seba’da –meminjam istilah ustadz Salim A. Fillah- menjelaskan hal ini, ternyata masih ada pertanyaan bingung yang terlontar, “Ustadz, bid’ah itu, apa?” “Lah, ini bakalan gak selesai halaqoh kalau begini,” betik saya dalam hati.

Sudah kepalang basah, sekalian berenang saja. Masih dengan bahasa yang dibuat sehalus mungkin, saya mencoba menjelaskan, walau rada berat.

Agama kita ini adalah agama dalil. Apa artinya? Bahwa semua jenis dan bentuk amalan dibangun atas dasar dalil; ada perintahnya dalam alQur’an dan atau ada anjurannya dalam hadits shahih. Amalan yang tidak ada landasan dalilnya adalah kesiaan dan tertolak, bahkan kebinasaan.

Nah, bid’ah, secara bahasa adalah sesuatu yang baru. Dalam pengertian bahasa ini, mobil, motor, laptop, smartphone, pesawat dan lain sebagainya adalah bid’ah. Sebab semuanya baru ada. Dulu belum ada. Kalau menurut istilah, sederhanya adalah, apa saja, dari amalan, yang tidak ada landasan dalilnya. Just it.

Ternyata, jawaban saya memicu banyak pertanyaan lain. Wah, sudahlah. Tidak hanya berenang, ini malah menyelam jadinya.

“Ustadz, kalau tahlilan, gimana?”
“Terus, kalau ziarah kubur itu, bagaimana?”
“Kalau ada orang mati, terus sebelum dikubur, keluarnya bagi-bagi makanan, bagaimana hukumnya?”

“Ustadz, kalau tukar makanan pas maulid itu, bid’ah, kah?”
“Ustadz, … ….”
“Ustadz, ….”

Agar tak menarik pertanyaan lainnya, majelis segera saya tutup. Jika dibiarkan, akan banyak pertanyaan lain seputar masalah ini. Semoga kelak mereka bertemu dengan seseorang yang lebih paham.

“Mari kita tutup dengan kafaratul majelis.”

SubhanakaLlahumma wa bihamdika, nasyhadu an la ilaha illa anta, nastaghfiruka wa natubu ilaik.

Fantasyiru.

*Kiriman Abdul Aziz Ibnu Basyir, Alumni STIS Tahun 2012. Saat ini menjadi da’i di Malang, Jawa Timur

Berita ini juga dapat dibaca melalui Android. Segera Update aplikasi STISHID untuk Android . Install/Update Aplikasi STISHID Android Anda Sekarang !

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp