Tegar Bersama Suami Sibuk Berdakwah


STISHID — Tak mudah bagi Rianti, ibu muda dengan dua orang balita yang jarak keduanya hanya berselisih 15 bulan, untuk menerima kenyataan mengenai kondisi rumah tangganya.

Hari-hari Rianti harus mengurus kedua putranya, memasak, mencuci, menyetrika, dan membereskan rumah tanpa bantuan suaminya.

Terlihat hanya 5 item sederhana. Tapi sejatinya itu adalah pekerjaan rutin melelahkan. Nyaris tanpa jeda atau celah sedikitpun

Bahkan tak jarang ia terpaksa harus menyelesaikan tiga atau empat pekerjaan rumah tangga sekaligus.

Sambil menyusui si kecil, Rianti menyempatkan diri bersibak di dapur, mencuci piring dan gelas kotor serta menyiapkan makan siang sebentar.

Di saat yang sama, Rianti juga sedang sedang berkutat dengan pakaian kotor yang mulai menumpuk. Untuk urusan ini, syukurnya ia terbantu dengan adanya mesin cuci. Sebab ia juga masih punya gawe lainnya yaitu menemani si abang bermain di rumah.

Kemana suami Rianti? Mengapa ia tega membiarkan sang permaisuri berpeluh keringat dalam istananya Yah, inilah kenyataan yang harus Rianti terima.

Realita bahwa ia sedang “dimadu” oleh suaminya. Tapi bukan diduakan dengan wanita. Sebab poligami yang penulis maksud adalah dimadu dengan urusan-urusan dakwah.

Dalam Islam, setiap Muslim memang diwajibkan untuk berdakwah. Dengan makna luas, yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Firman Allah, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyeru (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar”. (QS. Ali-Imran [3]: 104).

Istri yang memiliki suami yang memilih terjun di dunia dakwah tentu merasakan hal yang sama dengan Rianti. Ada masa ketika suami harus keluar kota melayani panggilan dakwah atau jadwal taklim yang padat dari pagi hingga malam hari.

Soalannya, apakah istri harus mengeluh? Atau menangis dalam diam? Tidak, hal yang harus dilakukan adalah bersabar dan bersyukur. Hal  terpenting lainnya yaitu berada di barisan terdepan sebagai pendukung setianya.

Tak kurang teladan itu telah diperagakan oleh istri Rasullullah Shallallahu alaihi wasallam (Saw), Khadijah binti Khuwailid.

Sebagai wanita pertama yang masuk Islam. Kesetiaannya menjadi pendamping Nabi dalam berdakwah tak bisa diragukan lagi.

Sadar akan peran vital di masa krusial tersebut, Khadijah memilih tandang di baris terdepan menyokong gerakan dakwah Nabi.

Alih-alih mengeluh atas pekerjaan suami, Khadijah justru seolah ” pasang badan” terhadap urusan dakwah itu.

Demi agama Islam sebagai keyakinan dan jalan hidupnya, apapun lalu Khadijah korbankan. Tak pernah jenuh, tak ada sepatah katapun terlontar sesal dan kesah.

Ia tabah merawat Nabi saat kembali dengan luka di sana sini usai dianiaya oleh kaumnya sendiri. Ia berdiri tegar di samping Nabi, menghibur kesedihan, meringankan beban penderitaan.

Bahkan Khadijah nyaris tak bertanya kecuali menuruti permintaan Nabi untuk diselimuti karena menggigil ketika itu.

Masih di kota yang sama, di Makkah, ada sosok istri lainnya yang bernama Hajar.
Seorang wanita beriman yang melegenda hingga akhir zaman dengan ketangguhan jiwanya dalam mendampingi suami berdakwah.

Singkat kisah, kala Nabi Ibrahim, atas perintah Allah, hendak pergi meninggalkan dirinya dan bayi Ismail di lembah tandus saat itu, Hajar sempat bertanya kepada sang suami.

“Wahai Ibrahim, hendak kemana kamu pergi? Akankah engkau meninggalkan kami di sini tanpa sesuatu yang mencukupi kebutuhan kami?”

Tak puas dengan diamnya Ibrahim, Hajar kembali bertanya, “Apakah Allah yang menyuruhmu pergi?” Ibrahim menjawab, “Iya,”

“Kalau begitu, pergilah, Allah pasti tak akan menyia-nyiakan kami,” tegas Hajar sambil berusaha menepis keraguan dirinya sendiri.

Usai dialog singkat tersebut, Hajar hanya bisa bersandar kepada keyakinannya terhadap pertolongan Allah.

Ia yakin, Allah pasti menjaga dan mencukupi kebutuhan diri dan anaknya. Meski hanya berdua di tengah belantara gurun pasir saat itu.

Hendaknya kisah dua manusia terbaik di atas, Nabi Muhammad dan nabi Ibrahim menjadi cermin bagi keluarga para juru dakwah.

Bahwa keberhasilan dakwah tersebut terpaut erat dengan totalitas support yang diberikan oleh istri-istri mereka di rumah.

Demikianlah, Allah telah mentakdirkan Khadijah berlaku tegar saat ditinggal oleh Rasulullah pergi bertahannuts (berkontemplasi) di Gua Gira, di puncak Jabal Nur, Makkah.

Sebagaimana ketegaran Hajar bisa mengilhami kekuatan Ibrahim dalam melangkah menegakkan kalimat haq di depan penguasa zhalim, Namrudz.

Kini, di era modern sekarang, suami meninggalkan istrinya ke medan dakwah bukan dalam kondisi di tengah gurun sahara  atau di tengah kaum yang memusuhi dan sewaktu-waktu menyerang.

Tapi di tengah fasilitas yang memadai untuk berkomunikasi, atau mesin cuci dan alat masak yang dapat meringankan sebagian beban pekerjaan.

Jika masih saja lisan ini mengeluh maka tentunya hati ini patut dikoreksi. Khawatir ia telah menggersang akibat jauh dari dzikir dan tawakkal kepada-Nya.

Ada wanita yang setiap hari memiliki waktu bersama suami dan anak-anaknya. Namun, tetap saja ia tak merasa bahagia. Sebab ukuran kebahagiaan bukan sebatas kuantitas pertemuan dan kebersamaan. Namun, kualitas hati yang menyatu dalam doa-doa yang bertaut di tengah keluarga.

Tak sedikit istri memahami dakwah suami adalah sebuah anugerah dan kenikmatan yang harus disyukuri. Tapi terkadang ada juga istri yang malah mengeluh atas aktifitas dakwah suaminya selama ini.

Sejatinya, tak ada seorang istri yang ingin menjerumuskan suaminya pada kemurkaan Allah.

Termasuk dengan cara  menahannya untuk  berdakwah dan mengalihkan perhatiannya hanya untuk bersenang-senang dengan diri dan anak-anaknya.

Dalam ajaran Islam, mengejar kepentingan akhirat bukan berarti harus melupakan urusan dunia. Sebagaimana kesibukan berdakwah tak mesti identik dengan melalaikan tanggung jawab dalam keluarga.

Yang ada justru menjadikan keluarga sebagai wasilah memperkokoh dakwah dan menyebar kebaikan kepada lingkungan.

Allah berfirman: “Wahai orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi”. (QS. Al-Munafiqun
[63]: 9).

Bagi seorang Muslim, perintah menegakkan peradaban Islam bermula dari unit terkecil berupa pembinaan keluarga-keluarga Muslim.

Olehnya seorang dai harus menuntaskan urusan mendidik keluarga sebelum bertolak terjun ke masyarakat. Sebagaimana istri seorang dai juga hendaknya pandai memahamkan diri, mengingat tugas menyeru kepada kebaikan bukanlah pekerjaan yang gampang dijalani.

Seorang istri tak perlu resah atau gelisah serta menganggap tak memiliki peran dalam dunia dakwah jika hanya berada di rumah bergelut dengan pekerjaan yang tiada henti.

Itulah dunia jihad kaum wanita. Jihad tidak hanya diwajibkan kepada kaum laki-laki, tetapi juga kepada kaum wanita. Hal ini karena Islam memberikan amanah yang sama tapi wilayah yang berbeda antara laki-laki dan wanita.

Jihad bagi seorang istri adalah mengurus keluarga, mendidik anak-anak , memperhatikan kebersihan rumah tangga, hingga menyiapkan keperluan suami.

Untuk itu, usaplah peluhmu wahai wanita yang “dimadu” oleh dakwah dan menyeru kepada kebaikan.

Lapangkan dada dan tanamkan keyakinan, Allah niscaya menolong orang-orang yang menolong agama-Nya.

Jaga keluarga, didik anak-anak, dan siapkan keperluan suami. Basahi dahaganya dengan tutur kata yang menyejukkan.

Obati luka-lukanya dengan kesetiaan dan doa-doa terbaik yang tak pernah terputus untuk kebaikan keluarga dan bangsa ini. */Kiriman Mustavidah, lulusan STIS Hidayatullah 2012


Berita ini juga dapat dibaca melalui Android. Segera Update aplikasi STISHID untuk Android . Install/Update Aplikasi STISHID Android Anda Sekarang !

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp