Mewarisi Perjuangan Nabi dan Rasul

Stishid.ac.id– Tidak mudah bagi seorang muslim hidup memegang prinsip perjungan di tengah era materialism, hedonism dan konsumerisme seperti saat ini. Meskipun sebenarnya, para nabi, rasul dan sahabat juga mengalami hal yang demikian di zaman yang mereka hadapi.

Diutusnya para Nabi dan Rasul bukan di ruang kosong, yang tidak ada masalah. Mereka sengaja diutus untuk memperbaiki masyarakat problematik  yang jauh dari tuntunan Allah. Artinya kalau masyarakat sudah baik maka mungkin tidak perlu diutus para Nabi dan Rasul.

Kondisi masyarakat yang dihadapi oleh para Nabi dan Rasul jauh lebih parah penyimpangannya dan lebih kuat penentangannya. Sehingga diantaranya terbunuh dan dibunuh oleh umat yang memusuhinya. Atau paling tidak berbagai penderitaan didapatinya. Pengusiran, intimidasi, pemboikotan, celaan, dan fitnah sudah menjadi lagu ujian wajib yang dialami oleh para Nabi dan Rasul.

Di  zaman sekarang sudah tidak ada lagi Nabi dan Rasul, karena Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Sementara kondisi umat sangat memprihatinkan dari segi akidah, akhlaq dan ibadah. Tentu kaum muslimin tidak bisa berpangku tangan, mendoakan saja semoga Allah mengirimkan adzab kepada mereka, pasrah menunggu datangnya hari kiamat.

Tugas orang berimanlah untuk menghadapi tantangan zaman saat mereka hidup di zaman tersebut. Bukan mempertanggungjawabkan zaman yang akan datang atau zaman masa lalu tapi zaman yang dihadapinya sekarang.

Keterpanggilan iman yang menggerakan orang beriman untuk mengambil peran dalam menghadapi dan meretas problematika umat saat ini. Sebab iman melahirkan kepekaan terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan iman, artinya mereka resah dan gelisah ketika melihat kemungkaran terjadi dihadapannya.

Karakter orang beriman tidak cuek, egois, acuh tak acuh terhadap kondisi masyarakat di sekitarnya. Mereka akan berusaha untuk mengubahnya, mengajaknya ke jalan yang benar dengan berdakwah dengan kekuasaannya, jika tidak mampu dengan lesannya, bila tidak mampu dengan doa atau paling tidak hatinya tidak terima dengan kondisi tersebut.

Resiko apapun akan ditempuh orang beriman dalam memperjuangan keimanannya menghadapi kemungkaran yang terjadi di sekitarnya. Meskipun harus mengorbankan harta, tenaga bahkan jiwanya, karena mereka yakin pengorbanannya tidak akan sia sia untuk membayar surga yang Allah janjikan.

Justru yang dipertanyakan adalah sikap dari orang orang yang mengaku beriman tapi diam seribu kata, tidak peduli, asyik dengan ibadahnya sendiri bahkan mendukung kemungkaran yang terjadi dengan dalih toleransi, islam itu kan rahmatal lil alamin.

Sekali lagi, harus berkaca dengan sejarah para Nabi dan Rasul, sebenarnya kalau mereka mau egois untuk masuk surga maka tidak perlu mengambil resiko untuk memusuhi dan dimusuhi orang orang kafir. Tidak perlu capek mengorbankan harta dan tenaga mendakwahi orang orang yang menentang syariat Allah, biarkan itu urusan Allah yang akan mengadzabnya.

Ternyata sejarah para nabi dan rasul penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Ukuran keberhasilan dari perjuangan mereka bukan pada pencapaian harta yang sudah mereka miliki, jabatan yang mereka duduki. Sehingga bukanlah suatu kehinaan ketika ada pejuang yang kekurangan harta, bukan merasa minder ketika tidak menjabat apapun, tidak gelisah ketika tidak mewariskan kekayaan kepada keluarganya.

Kita mewarisi perjuangan para Nabi dan Rasul dan kita juga harus mewariskan  keimanan dan semangat perjuangan, kesiapan berkurban kepada generasi generasi kita ke depan. Wallahu a’lam bish shawwab. */Abu Yasin

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp