Stishid.ac.id – Sayup-sayup terdengar suara teriakan dari luar asrama. Suara itu makin jelas dan sangat menarik minat. Para mahasiswa berlari menuju keluar kamar. Terdengarlah teriakan paling favorit :
“Yang mau Bongkoooot keluar”
Suara gemuruh langkah menghentak lantai Dakhiliyyah Abdullah Said. Dakhiliyyah adalah sebutan untuk asrama mahasiswa STIS Hidayatullah Balikpapan.
Bongkot, sebuah kata yang paling ditunggu oleh semua santri Gunung Tembak (sebutan untuk santri Hidayatullah Balikpapan), tak terkecuali mahasiswa. Bagi orang luar (sebutan bagi orang yang tidak tinggal di kawasan pondok) kata bongkot jelas terasa aneh. “Bongkot ? Memang itu seperti apa bentuknya ?”, Tanya Fahri, seorang tamu santri yang mengunjungi dakhiliyyah .
Bongkot adalah istilah khas santri Gunung Tembak untuk menyebut kulit roti yang keras dan tipis. Jenis makanan ini tentu tidak seperti roti pada umumnya yang empuk dan umumnya tebal.
Bagi sebagian mahasiswa baru, melihat sebagian mahasiswa mengonsumsi bongkot tentu terasa aneh, sebab menurut mereka, di tempat asalnya, kulit roti ini hanya dikonsumsi ikan. Namun seiring berjalannya waktu mereka pun ikut menikmati bongkot seperti halnya mahasiswa lama.
“Awalnya ana (saya) tidak terbiasa makan bongkot, sebab kalau di Jawa kulit roti ini adalah makanan ikan. Namun di kampus Hidayatullah ini jadi makanan favorit santri. Dan sekarang saya sudah menyukai bongkot dan bisa dikatakan sebagai pecinta Bongkot”. Ujar Ajim mahasiswa baru sambil tertawa.
Bagi santri, bongkot merupakan makanan serba bisa. Sebab makanan ini bisa dipadukan dengan berbagai campuran. Makanan ini bisa dijadikan cemilan, biasanya dipadu dengan susu sachet atau susu cair, teh dan kopi. Selain itu juga bisa menjadi makanan poko, biasanya sebagian santri menjadikan bongkot sebagai pengganti nasi yang dicampur dengan sayur, kuah ikan dan sambal.
Bongkot sangat mudah di temui di asrama santri dan dakhiliyyah mahasiswa, Sebab makanan yang tak lazim ini menjadi menu favorit santri dikarena banyak manfaat yang didapat. Tentu manfaat yang paling dirasakan adalah harganya yang sangat terjangkau bagi para santri yang mayoritas berasal dari kalangan tak mampu. Selain itu, mengkonsumsi bongkot juga membuat para santri cepat kenyang, bahkan sebagian santri menjadikan bongkot sebagai makanan sehari-hari jika bosan mengonsumsi makanan dapur.
Selain itu menjual bongkot juga menjadi lading bisnis bagi sebagian santri. Salah satunya adalah Azwar, mahasiswa asal Lombok ini mengaku bisa memperoleh keuntungan Rp. 60.000 setiap pekan dari menjual bongkot.*/Rahmatullah Rahman/Mahasiswa STIS Hidayatullah