LPPPM STIS Hidayatullah Mengkaji Ekonomi Syariah


DAMPAK buruk paham ekonomi materialisme dan kapitalisme bukan lagi sekedar isapan jempol di tengah masyarakat. Hari ini seolah-olah umat Islam tak berdaya sama sekali di hadapan kekuatan cakar sistem ribawi.

Itulah fenomena sosial yang menjadi pengantar dalam kegiatan diskusi ilmiah yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengabdian Masyarakat (LPPPM) Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah, Balikpapan, Sabtu, 12 April 2014, lalu.

“Di mana-mana ada praktik riba. Kini setiap saat riba itu menghantui kita dalam segala aspek dan transaksi keuangan kita. Inilah fitnah akhir zaman yang harus kita hadapi bersama,” tegas Direktur Baitul Mal wat Tamwil (BMT) Umat Mandiri Balikpapan, Rohyadi.

Dalam kesempatan diskusi kali ini, LPPPM STIS Hidayatullah menggandeng BMT Umat Mandiri dengan tema pembahasan “Harapan dan Tantangan BMT Sebagai Lembaga Keuangan Syariah”.

Dijelaskan Rohyadi, bagi orang beriman, tentu tak bijak jika hanya menyesali nasib lalu berpasrah diri tanpa berbuat. Termasuk dalam menyikapi persoalan ekonomi umat Islam sekarang ini.

Menurut Rohyadi, hendaknya kondisi itu ditangkap sebagai tantangan dan peluang untuk mensosialisasikan tuntunan syariat Islam dalam hal ekonomi dan keuangan.

“Inilah peluang yang paling baik untuk mengembalikan umat Islam kepada ajaran agamanya,” ujar Rohyadi.

Saat ini, jelas Rohyadi, masyarakat tidak perlu lagi diberitahu tentang bobroknya praktik riba itu karena mereka sudah merasakannya sendiri dampak buruknya secara langsung.

Dalam presentasi di hadapan peserta diskusi, Rohyadi juga mengurai panjang lebar tentang perbedaan mendasar dalam beberapa akad yang dipakai. Antara praktik transaksi riba dan transaksi syar’i menurut syariat Islam.

“Terkesan sama, sebab terkadang perbedaan di antara praktik keduanya sangat tipis. Namun ketimpangan itu jadi sangat terasa jika langsung berhadapan dengan kasus di lapangan,” terang pria yang mengaku banyak mendapatkan ilmu dari praktik langsung di lapangan.

Belajar pada Masa Lalu

Lebih jauh Rohyadi mengajak mencermati krisis keuangan yang menimpa negeri ini tahun 1997 silam. Saat itu, jelas dia, bank-bank syariah tetap mampu survive meski diterpa badai moneter. Sedang di saat yang sama, pemandangan berbeda melanda bank-bank konvensional.

Ibarat anak tangga yang roboh, satu persatu bank-bank yang menganut paham keuangan ribawi tersebut bertumbangan dan terkena likuidasi. Salah satu faktornya, karena lembaga keuangan syariah tak mengenal unsur ribawi dalam pengelolaannya.

Untuk itu, menurut Rohyadi, BMT Umat Mandiri yang dipimpinnya hadir di tengah masyarakat. Berangkat dari keprihatinan terhadap nasib masyarakat kecil yang banyak terjerat dengan cengkeraman para cukong dan rentenir. Oleh masyarakat, kelompok seperti ini biasa dikenal dengan istilah Pegel. Singkatan dari Pengusaha Golongan Ekonomi Lemah.

“Biasanya orang-orang tersebut susah dalam berurusan dengan bank,” papar Rohyadi. Selain itu, menurut temuan Rohyadi, antusiasme masyarakat terhadap prinsip ekonomi syariah juga sangat tinggi.

Tentu dengan catatan, ghirah dan kepercayaan itu terbayar dengan pengelolaan yang baik dan amanah. “Tinggal kita bagaimana menjawab kepercayaan tersebut,” ucap pria kelahiran Subang, Jawa Barat ini.

Berbasis Masjid

Berdiri sejak akhir 2006, dalam perjalanannya hingga kini BMT Umat Mandiri memiliki aset sebesar 2,8 Milyar. “Dulu modal awalnya hanya Rp. 4.500.000. Itupun hasil dari patungan sepuluh orang,” ungkap Rohyadi.

Setelah itu, BMT mendapat suntikan pinjaman dana segar dari Baitul Maal Hidayatullah (BMH) sebesar Rp. 45.000.000. Dengan modal tersebut, BMT Umat Mandiri terus bermujahadah melayani kebutuhan masyarakat dengan berbagai macam program yang ada.

Di antara program unggulan BMT Umat Mandiri adalah KUM3, yaitu Kelompok Usaha Mandiri Menengah berbasis Masjid. Hingga sekarang, BMT memiliki tujuh masjid binaan yang tersebar di kawasan pinggiran kota Balikpapan. Sebut saja misalnya, mushalla al-Hikmah, Gunung Bubukan, masjid An-Nur, Aji Raden, dan masjid Mikrajul Mukminin, Gunung Bakaran.

Rata-rata dalam setiap masjid, terdiri dari 15-20 orang. Oleh BMT, setiap orang lalu mendapat tunjangan sebesar Rp. 2.000.000 sebagai modal usaha. Dengan kegiatan berbasis masjid, selain membantu dari sisi ekonomi, program tersebut juga diharapkan bisa memberikan pencerahan ruhiyah untuk beribadah lebih baik lagi.

“Untuk menjalin ukhuwah, kami juga mengadakan rihlah setahun sekali dengan mengajak seluruh sahabat dan kerabat yang lain,” ucap Rohyadi.

Bernaung di bawah ormas Hidayatullah, BMT Umat Mandiri yang bernomor SIUP 00431/17-05/SIUP/PK/VII/2007 terus melakukan berbagai pembinaan dan pemberdayaan masyarakat secara luas di wilayah tempatnya berkedudukan ini.

Selain bermitra dengan Baitul Maal Hidayatullah (BMH), BMT Umat Mandiri juga tercatat memiliki mitra dengan beberapa lembaga keuangan yang lain. Termasuk dalam program KUM3 di atas, BMT mendapat bantuan hibah sebesar Rp. 250.000.000 dari Baitul Maal Muamalat (BMM).

“Kami terus berupaya menjalin kerjasama dengan seluruh elemen masyarakat dan wadah ekonomi keumatan yang ada. Sebab semua ini adalah dari, oleh dan milik umat semata,” pungkas Rohyadi semangat.

Diskusi ilmiah yang diselenggarakan LPPPM STIS Hidayatullah ini berlangsung hangat diikuti oleh mahasiswa dan staf akademik. Kegiatan yang dilakukan rutin ini sebagai upaya membangun kultur ilmiah civitas guna menawarkan solusi atas berbagai problematika umat dewasa ini. */ Masykur Abu Jaulah

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp