Meresapi Pesan Taqwa di Hari Jum’at


SELAMA ini, kebanyakan umat Islam mungkin sudah sangat biasa dengan istilah taqwa. Setiap hari Jum’at, khotib selalu dan harus mewasiatkan taqwa kepada para jamaah shalat Jum’at. Kemudian ketika sumpah jabatan juga selalu ada kata taqwa.

Apalagi baju-baju muslim atau koko juga disebut baju taqwa. Nama-nama masjid jami juga banyak menggunakan kata taqwa. Sehingga istilah taqwa tidak asing di telinga umat Islam karena sangat populer dan indah untuk diucapkan atau didengar.

Namun karena sudah sangat biasa diucapkan dan didengar sehingga menjadi kehilangan ruh dari istilah taqwa. Pesan taqwa menjadi seperti penghias bibir dari para da’i dan penceramah. Pejabat dan penjahat nyaris tidak bisa dibedakan kefasehannya dalam mengucapkan kata taqwa, apalagi jika sama-sama memakai baju taqwa.

Kemudian pemaknaan taqwa juga terkesan disederhanakan dan meringankan. “Melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah” sebenarnya tidak ada yang salah dengan definisi tersebut. Namun penjelasan yang kurang mendalam tentang dua variabel tersebut sehingga seolah taqwa itu seperti membeli kacang goreng yang mudah membeli dan memakannya.

Padahal pesan taqwa adalah inti dari ajaran Islam dan keimanan seseorang. Ajaran Islam baik yang terkait dengan muamalah, ibadah, aqidah, syari’ah dan akhlaq semua menuju ketaqwaan kepada Allah swt. Jika tidak dalam rangka meraih taqwa maka secara otomatis tertolak amal-amalnya.

Keimanan seseorang juga sangat jelas dengan kualitas taqwa. Artinya sangat dipertanyakan orang yang mengaku beriman tapi tidak melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Atau jika dalam pelaksanaan perintah Allah masih setengah-setengah maka keimanan juga masih separo, mengaku bertaqwa tapi masih doyan berbuat dosa juga maka bohong belaka.

Taqwa adalah derajat paling mulia di sisi Allah swt. Sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya surat al-Hujurat ayat 13,” Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.”

Makna secara dohir dan logika sudah sangat mudah dipahami, bahwa orang yang paling bertaqwa adalah orang yang paling maksimal dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan yang paling sedikit pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan-larangan Allah. Tentu orang yang seperti ini sulit dan sedikit yang bisa meraihnya.

Sehingga mari kita mencoba untuk menyegarkan pesan-pesan taqwa kepada keluarga, saudra, teman dan orang-orang di sekitar. Bukan sekedar basa-basi tapi ketulusan untuk bersama-sama mendapatkan kemuliaan di sisi Allah swt.

Allah menilai bukan berapa banyak baju taqwa kita, atau sudah berapa kali mengucapkan kata taqwa dan sejauh mana pemahaman kita tentang taqwa. Tapi pengamalan dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan insan bertaqwa adalah menjadi bingkai dalam keseharian kita. Wallahu a’lam.*/ Kiriman dari Abdul Ghofar Hadi

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp